Mode Suara
Senin, 04 November 2024 | 08:25
Dilihat : 923JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Prof Huala Adolf menjelaskan dua permasalahan utama pelaksanaan arbitrase internasional di Indonesia. Hal tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS/UU Arbitrase) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan BANI sebagai Pihak Terkait pada Senin (4/11/2024).
“Dari pengamatan kami permasalahan utama pelaksanaan arbitrase internasional di Indonesia pada pokoknya adalah dua hal,” ujar Huala di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dua permasalahan tersebut mengenai persyaratan pelaksanaan putusan arbitrase dan masih lamanya proses eksekusi permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di pengadilan. Huala mengatakan persyaratan pelaksanaan arbitrase internasional tunduk pada syarat-syarat yang dipandang tidak efisian termasuk dalam praktiknya, di antaranya pendaftaran putusan arbitrase internasional oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta syarat mendapatkan surat keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia (RI) di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Dia menuturkan dalam pelaksanaannya tidaklah mudah bagi pemohon yang hendak memohon pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase di Indonesia untuk meyakinkan arbiter asing (atau melalui kuasanya) untuk mendaftarkan putusan arbitrasenya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Arbiter asing umumnya menganggap dengan putusan arbitrase yang telah ia keluarkan, selesailah tugasnya sebagai arbiter. Begitu pula upaya pemohon untuk mendapat surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara di mana putusan arbitrase dikeluarkan. Syarat ini juga membutuhkan waktu ekstra untuk memperolehnya.
Persyaratan eksekuatur yang harus dimohonkan wajib terlebih dahulu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila Pengadilan Jakarta Pusat menilai permohonan eksekuatur Putusan Arbitrase Internasional memenuhi syarat dan tidak melanggar ketentuan hukum Indonesia, Pengadilan akan mengabulkan pemberian eksekuatur ini. Selanjutnya pemohon kembali mengajukan permohonan pelaksanaan eksekuatur agar putusan arbitrase dapat diperintahkan untuk dilaksanakan oleh termohon.
Selain itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran itu juga mengatakan praktik menunjukkan butuh waktu yang cukup lama bahkan sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan eksekuatur dan perintah pelaksanan eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk memperbaiki kondisi di atas, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Atbitrase. Pasal 16 (4) Peraturan MA ini mensyaratkan 14 hari atau 2 minggu sejak permohonan didaftarkan bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memutuskan dikabulkan atau ditolaknya permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
“Perma 2023 masih relatif baru, untuk mengetahui efektivitasnya masih perlu diuji dalam praktik. Permasalahan utamanya adalah cukup lamanya persyaratan yang harus dipenuhi pemohon untuk melengkapi permohonan eksekusinya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Huala.
Di samping itu, pada Agustus 2023, BANI telah menyerahkan Naskah Akademis (N/A) tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 1999 kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Menkumham RI. Terhadap N/A ini, BPHN telah mengundang BANI untuk membahas ketentuan-ketentuan amandemen UU Arbitrase. Salah satu ketentuan yang diusulkan diubah adalah mengganti Pasal 1 angka (9) UU Arbitrase dengan rumusan arbitrase internasional berdasarkan Atticle 1 angka 3 UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law) Model Law on International Commercial Arbitration.
Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR Republik Indonesia I Wayan Sudirta yang mewakili DPR memberikan keterangan dalam sidang perkara ini meminta MK menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Dia meminya MK menyatakan Pasal 1 angka (9) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Advokat Perjelas Dalil Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
DPR RI dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji Ketentuan Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Sebagai informasi, pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (7/8/2024) lalu, Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia selaku Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Sementara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Prof Huala Adolf menyampaikan keterangan selaku {ihak Terkait dalam Sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS/UU Arbitrase), di ruang sidang Pleno MK, pada Senin (4/11/2024). Foto: Humas/Panji
Senin, 04 November 2024 | 08:25
Dibaca: 923
JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Prof Huala Adolf menjelaskan dua permasalahan utama pelaksanaan arbitrase internasional di Indonesia. Hal tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS/UU Arbitrase) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan BANI sebagai Pihak Terkait pada Senin (4/11/2024).
“Dari pengamatan kami permasalahan utama pelaksanaan arbitrase internasional di Indonesia pada pokoknya adalah dua hal,” ujar Huala di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dua permasalahan tersebut mengenai persyaratan pelaksanaan putusan arbitrase dan masih lamanya proses eksekusi permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di pengadilan. Huala mengatakan persyaratan pelaksanaan arbitrase internasional tunduk pada syarat-syarat yang dipandang tidak efisian termasuk dalam praktiknya, di antaranya pendaftaran putusan arbitrase internasional oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta syarat mendapatkan surat keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia (RI) di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Dia menuturkan dalam pelaksanaannya tidaklah mudah bagi pemohon yang hendak memohon pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase di Indonesia untuk meyakinkan arbiter asing (atau melalui kuasanya) untuk mendaftarkan putusan arbitrasenya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Arbiter asing umumnya menganggap dengan putusan arbitrase yang telah ia keluarkan, selesailah tugasnya sebagai arbiter. Begitu pula upaya pemohon untuk mendapat surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara di mana putusan arbitrase dikeluarkan. Syarat ini juga membutuhkan waktu ekstra untuk memperolehnya.
Persyaratan eksekuatur yang harus dimohonkan wajib terlebih dahulu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila Pengadilan Jakarta Pusat menilai permohonan eksekuatur Putusan Arbitrase Internasional memenuhi syarat dan tidak melanggar ketentuan hukum Indonesia, Pengadilan akan mengabulkan pemberian eksekuatur ini. Selanjutnya pemohon kembali mengajukan permohonan pelaksanaan eksekuatur agar putusan arbitrase dapat diperintahkan untuk dilaksanakan oleh termohon.
Selain itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran itu juga mengatakan praktik menunjukkan butuh waktu yang cukup lama bahkan sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan eksekuatur dan perintah pelaksanan eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk memperbaiki kondisi di atas, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Atbitrase. Pasal 16 (4) Peraturan MA ini mensyaratkan 14 hari atau 2 minggu sejak permohonan didaftarkan bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memutuskan dikabulkan atau ditolaknya permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
“Perma 2023 masih relatif baru, untuk mengetahui efektivitasnya masih perlu diuji dalam praktik. Permasalahan utamanya adalah cukup lamanya persyaratan yang harus dipenuhi pemohon untuk melengkapi permohonan eksekusinya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Huala.
Di samping itu, pada Agustus 2023, BANI telah menyerahkan Naskah Akademis (N/A) tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 1999 kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Menkumham RI. Terhadap N/A ini, BPHN telah mengundang BANI untuk membahas ketentuan-ketentuan amandemen UU Arbitrase. Salah satu ketentuan yang diusulkan diubah adalah mengganti Pasal 1 angka (9) UU Arbitrase dengan rumusan arbitrase internasional berdasarkan Atticle 1 angka 3 UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law) Model Law on International Commercial Arbitration.
Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR Republik Indonesia I Wayan Sudirta yang mewakili DPR memberikan keterangan dalam sidang perkara ini meminta MK menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Dia meminya MK menyatakan Pasal 1 angka (9) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Advokat Perjelas Dalil Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
DPR RI dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji Ketentuan Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Sebagai informasi, pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (7/8/2024) lalu, Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia selaku Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Sementara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan