Mode Suara
Selasa, 24 September 2024 | 06:55
Dilihat : 132JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan dari permohonan Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Selasa (24/9/2024). Sidang Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden/Pemerintah atas pengujian Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Namun demikian Pemerintah belum siap untuk memberikan keterangan pada persidangan perkara a quo, demikian juga dengan DPR RI.
“Pemerintah akan hadir pada persidangan berikutnya karena bagian persidangan MK Kepaniteraan menginformasikan Pemerintah berlum siap dengan keterangannya. Oleh karenya Mahkamah memberikan kesempatan agar tidak ada lagi penundaan pemberian keterangannya. Maka sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 14 Oktober 2024 pukul 13.30 WIB,” jelas Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Pada Sidang Pendahuluan, Rabu (7/8/2024) Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Semantara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Perwakilan Pemerintah meminta penundaan pemberian keterangan pada sidang uji Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Selasa (24/09) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Selasa, 24 September 2024 | 06:55
Dibaca: 132
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan dari permohonan Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Selasa (24/9/2024). Sidang Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden/Pemerintah atas pengujian Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Namun demikian Pemerintah belum siap untuk memberikan keterangan pada persidangan perkara a quo, demikian juga dengan DPR RI.
“Pemerintah akan hadir pada persidangan berikutnya karena bagian persidangan MK Kepaniteraan menginformasikan Pemerintah berlum siap dengan keterangannya. Oleh karenya Mahkamah memberikan kesempatan agar tidak ada lagi penundaan pemberian keterangannya. Maka sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 14 Oktober 2024 pukul 13.30 WIB,” jelas Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Pada Sidang Pendahuluan, Rabu (7/8/2024) Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Semantara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan