Mode Suara

Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat sidang perbaikan permohonan atas pengujian Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Kamis (22/8/2024). Foto Humas/Bayu

Kamis, 22 Agustus 2024 | 06:50

Dibaca: 225

Advokat Perjelas Dalil Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan dari permohonan Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Kamis (22/8/2024). Sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan atas pengujian Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) ini dipimpin langsung oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Terhadap Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini, Togi menyebutkan telah memperbaiki beberapa hal, di antaranya uraian mengenai kerugian dan sebab akibat dari posisi Pemohon sebagai perseorangan warga negara, arbirter, dan ketua badan penyelesaian sengketa nasional PSSI, dan advokat. Selanjutnya Pemohon juga menjelaskan gambaran pertentangan Pasal 1 angka 9 UU Arbitrase dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“Pada bagian ini sudah diuraikan dengan unsur kepastian hukum pada pasal sehubungan dengan hak-hak kami sebagai pengajar, arbiter, dan advokat dan pencampuradukan pengertian arbitrase nasional dan internasional yang terjadi pada norma tersebut. Kemudian telah pula diuraikan komparasi dengan negara lain, yakni Swiss, Belanda, Italia, Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan Singapura terkait dengan penyelesaian sengketa arbitrase,” sampai Togi yang hadir secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.

Untuk itu, sambung Togi, Pemohon pada permohonan perbaikan ini memohon agar Mahkamah menyatakan frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan asas kepastian hukum di Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.

Baca juga: Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional

Dalam Sidang Pendahuluan pada Rabu (7/8/2024), Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya. Semantara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan