Mode Suara
Kamis, 14 November 2024 | 08:41
Dilihat : 403JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan Perkara Nomor 127/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
“Mahkamah berpendapat, oleh karena posita dan petitum para Pemohon, norma Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada berbunyi, "Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih." Pasal 109 ayat (3) UU Pilkada berbunyi, “Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.”
Saldi mengatakan telah ternyata para Pemohon tidak menguraikan secara lengkap dan jelas pertentangan antara norma yang diuji konstitusionalitasnya dan dasar pengujian yang digunakan. Mahkamah tidak menemukan uraian argumentasi hukum yang jelas dan memadai pada bagian posita mengenai alasan mengapa Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada harus dimaknai sebagaimana petitum para Pemohon. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar ketentuan norma Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada dimaknai “termasuk harus mengalahkan kotak kosong” dan Pasal 109 ayat (3) UU Pilkada dimaknai “termasuk menghitung perolehan suara kotak kosong sebagai suara sah”
“Dalam kaitan ini, tidak pula diuraikan pertentangan antara norma-norma dimaksud dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Sehingga dalil para Pemohon yang demikian tidak memiliki landasan argumentasi dalam posita,” kata Saldi.
Selain Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada, para Pemohon juga mengajukan petitum yang meminta adanya pemaknaan baru untuk Pasal 54C ayat (2), Pasal 54D ayat (1), Pasal 54D ayat (2), dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Pada pokoknya, para Pemohon ingin adanya pilihan kotak kosong/kolom kosong diberlakukan juga untuk pemilihan yang diikuti lebih dari satu pasangan calon kepala daerah.
Namun, permohonan para Pemohon sepanjang pasal-pasal tersebut telah kehilangan objek. Sebab, Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 telah dimaknai secara bersyarat dalam Putusan MK Nomor 126/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya telah diucapkan lebih dahulu pada hari ini. Karena itu, menurut Mahkamah, tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon a quo yang menyandarkan pada norma Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 harus pula dinyatakan telah kehilangan objek,” tutur Saldi.
Perkara ini dimohonkan tiga warga Jakarta yang menginginkan adanya pilihan kotak kosong meskipun terdapat lebih dari satu pasangan calon kepala daerah dalam pilkada. Menurut mereka, pilihan pasangan calon kepala daerah yang diusung pada Pilkada 2024 tidak sesuai kehendak para Pemohon. Karena itu, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada.
Norma pasal tersebut mengatur tentang adanya pemuatan satu kolom kosong yang tidak bergambar bagi pemilihan yang hanya diikuti satu paslon. Sementara, para Pemohon menginginkan adanya ketentuan pemuatan satu kolom kosong atau lebih dikenal kotak kosong diberlakukan juga bagi pemilihan yang diikuti lebih dari satu paslon. Penetapan pasangan calon pada pemilihan lebih satu paslon dilakukan apabila paslon terpilih memperoleh suara tertinggi, termasuk harus mengalahkan kolom kosong yang tidak bergambar dari suara sah.
Baca juga:
Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
Mahasiswa UII Perbaiki Permohonan Uji Materi UU Pilkada
Desain Surat Suara Pilkada Calon Tunggal Berubah dan Berlaku 2029
Sebagai informasi, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian materi Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon serta 2 (dua) kolom kosong di bagian bawah yang berisi/memuat pilihan untuk menyatakan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap 1 (satu) Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota".
Berikutnya, Mahkamah menyatakan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan".(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Fauzan Febriyan
Said Kemal Zulfi Kuasa Hukum Pemohon saat mengikuti sidang pengucapan putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, Kamis (14/11) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Kamis, 14 November 2024 | 08:41
Dibaca: 403
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan Perkara Nomor 127/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
“Mahkamah berpendapat, oleh karena posita dan petitum para Pemohon, norma Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada berbunyi, "Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih." Pasal 109 ayat (3) UU Pilkada berbunyi, “Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.”
Saldi mengatakan telah ternyata para Pemohon tidak menguraikan secara lengkap dan jelas pertentangan antara norma yang diuji konstitusionalitasnya dan dasar pengujian yang digunakan. Mahkamah tidak menemukan uraian argumentasi hukum yang jelas dan memadai pada bagian posita mengenai alasan mengapa Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada harus dimaknai sebagaimana petitum para Pemohon. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar ketentuan norma Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada dimaknai “termasuk harus mengalahkan kotak kosong” dan Pasal 109 ayat (3) UU Pilkada dimaknai “termasuk menghitung perolehan suara kotak kosong sebagai suara sah”
“Dalam kaitan ini, tidak pula diuraikan pertentangan antara norma-norma dimaksud dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Sehingga dalil para Pemohon yang demikian tidak memiliki landasan argumentasi dalam posita,” kata Saldi.
Selain Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada, para Pemohon juga mengajukan petitum yang meminta adanya pemaknaan baru untuk Pasal 54C ayat (2), Pasal 54D ayat (1), Pasal 54D ayat (2), dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Pada pokoknya, para Pemohon ingin adanya pilihan kotak kosong/kolom kosong diberlakukan juga untuk pemilihan yang diikuti lebih dari satu pasangan calon kepala daerah.
Namun, permohonan para Pemohon sepanjang pasal-pasal tersebut telah kehilangan objek. Sebab, Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 telah dimaknai secara bersyarat dalam Putusan MK Nomor 126/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya telah diucapkan lebih dahulu pada hari ini. Karena itu, menurut Mahkamah, tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon a quo yang menyandarkan pada norma Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 harus pula dinyatakan telah kehilangan objek,” tutur Saldi.
Perkara ini dimohonkan tiga warga Jakarta yang menginginkan adanya pilihan kotak kosong meskipun terdapat lebih dari satu pasangan calon kepala daerah dalam pilkada. Menurut mereka, pilihan pasangan calon kepala daerah yang diusung pada Pilkada 2024 tidak sesuai kehendak para Pemohon. Karena itu, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada.
Norma pasal tersebut mengatur tentang adanya pemuatan satu kolom kosong yang tidak bergambar bagi pemilihan yang hanya diikuti satu paslon. Sementara, para Pemohon menginginkan adanya ketentuan pemuatan satu kolom kosong atau lebih dikenal kotak kosong diberlakukan juga bagi pemilihan yang diikuti lebih dari satu paslon. Penetapan pasangan calon pada pemilihan lebih satu paslon dilakukan apabila paslon terpilih memperoleh suara tertinggi, termasuk harus mengalahkan kolom kosong yang tidak bergambar dari suara sah.
Baca juga:
Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
Mahasiswa UII Perbaiki Permohonan Uji Materi UU Pilkada
Desain Surat Suara Pilkada Calon Tunggal Berubah dan Berlaku 2029
Sebagai informasi, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian materi Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon serta 2 (dua) kolom kosong di bagian bawah yang berisi/memuat pilihan untuk menyatakan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap 1 (satu) Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota".
Berikutnya, Mahkamah menyatakan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan".(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Fauzan Febriyan