Mode Suara
Kamis, 17 Oktober 2024 | 08:30
Dilihat : 181JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/10/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Agenda sidang kali ini adalah perbaikan permohonan. Perkara Nomor 137/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Satrio Anggito Abimanyu bersama 10 (sepuluh) rekannya yang merupakan mahasiswa. Para Pemohon adalah mahasiswa aktif di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang juga terdaftar sebagai pemilih sementara di berbagai TPS di daerah asal para Pemohon masing-masing.
Yuniar Riza Hakiki selaku kuasa hukum dalam persidangan mengatakan pada sidang pendahuluan terdapat nasihat dari Hakim Konstitusi Arsul Sani untuk menambahkan UU Nomor 1 Tahun 2015 dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Di dalam perihal dan dalam obyek permohonan sudah kami cantumkan, karena memang obyek permohonan yang kami ajukan ini memiliki keterkaitan antara UU Nomor 1 Tahun 2015 dengan UU Nomor 10 Tahun 2016,” sebut Yuniar.
Kemudian, sambung Yuniar, pada bagian kewenangan MK di halaman 6 pihaknya menambahkan obyek permohonan yang diuji tidak hanya pasalnya saja tetapi juga penjelasannya yakni Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (2) beserta penjelasannya.
“Kami memandang penjelasan pasal tersebut belum jelas terutama terkait dengan frasa ‘di tempat lain’ dan frasa ‘di TPS lain’ belum jelas. Sedangkan penjelasan Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (2) hanya disampaikan cukup jelas. Sehingga kami juga memohon pada petitum untuk menguji penjelasan pasal tersebut,” terangnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Selanjutnya, pada bagian kedudukan hukum, pihaknya menambahkan alat bukti untuk menjelaskan Para Pemohon pada pilkada 2020 memang belum memiliki hak pilih karena seluruh Pemohon belum memiliki syarat usia. Tetapi, pada 2024 Para Pemohon memiliki hak pilih pada penyelenggaraan pemilu 2024. “Hal ini sudah kami cantumkan perbaikannya di halaman 21 poin 17,” ucap Yuniar.
Dalam petitum perbaikan, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "termasuk di luar daerah provinsi asal, dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting)".
Baca juga: Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Jumat (4/10/2024), Para Pemohon berpendapat bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015. Frasa “di tempat lain” dan “di TPS lain” dalam ketentuan tersebut tidak memberikan kejelasan terkait pemindahan lokasi pemilihan, khususnya bagi pemilih yang harus memilih di luar provinsi atau kabupaten/kota. Akibat ketidakjelasan ini, para Pemohon yang tengah menempuh pendidikan di luar daerah asal terancam kehilangan hak pilih Para Pemohon pada Pilkada 27 November 2024.
Para Pemohon menganggap memenuhi syarat "keadaan tertentu" yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) PKPU Nomor 7 Tahun 2024, karena tidak dapat memilih di TPS asal akibat sedang menempuh pendidikan di tempat lain. Namun, aturan yang ada tidak secara spesifik mengakomodasi pemindahan lokasi pemilih lintas daerah, sehingga Para Pemohon berpotensi tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Sehingga, para Pemohon meminta MK untuk memprioritaskan pemeriksaan permohonan yang diajukan guna melindungi hak konstitusional Para Pemohon dan mencegah terjadinya kerugian konstitusional. Para Pemohon juga memohon agar MK menyatakan frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal.” Selain itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 juga bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Fauzan Febriyan
Kuasa Hukum Pemohon, Yuniar Riza Hakiki dan Alan F.G Wardhana menyampaikan dalil-dalil perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), diruang sidang Panel MK, Kamis (17/10/2024). Foto: Humas/Panji
Kamis, 17 Oktober 2024 | 08:30
Dibaca: 181
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/10/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Agenda sidang kali ini adalah perbaikan permohonan. Perkara Nomor 137/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Satrio Anggito Abimanyu bersama 10 (sepuluh) rekannya yang merupakan mahasiswa. Para Pemohon adalah mahasiswa aktif di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang juga terdaftar sebagai pemilih sementara di berbagai TPS di daerah asal para Pemohon masing-masing.
Yuniar Riza Hakiki selaku kuasa hukum dalam persidangan mengatakan pada sidang pendahuluan terdapat nasihat dari Hakim Konstitusi Arsul Sani untuk menambahkan UU Nomor 1 Tahun 2015 dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Di dalam perihal dan dalam obyek permohonan sudah kami cantumkan, karena memang obyek permohonan yang kami ajukan ini memiliki keterkaitan antara UU Nomor 1 Tahun 2015 dengan UU Nomor 10 Tahun 2016,” sebut Yuniar.
Kemudian, sambung Yuniar, pada bagian kewenangan MK di halaman 6 pihaknya menambahkan obyek permohonan yang diuji tidak hanya pasalnya saja tetapi juga penjelasannya yakni Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (2) beserta penjelasannya.
“Kami memandang penjelasan pasal tersebut belum jelas terutama terkait dengan frasa ‘di tempat lain’ dan frasa ‘di TPS lain’ belum jelas. Sedangkan penjelasan Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (2) hanya disampaikan cukup jelas. Sehingga kami juga memohon pada petitum untuk menguji penjelasan pasal tersebut,” terangnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Selanjutnya, pada bagian kedudukan hukum, pihaknya menambahkan alat bukti untuk menjelaskan Para Pemohon pada pilkada 2020 memang belum memiliki hak pilih karena seluruh Pemohon belum memiliki syarat usia. Tetapi, pada 2024 Para Pemohon memiliki hak pilih pada penyelenggaraan pemilu 2024. “Hal ini sudah kami cantumkan perbaikannya di halaman 21 poin 17,” ucap Yuniar.
Dalam petitum perbaikan, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "termasuk di luar daerah provinsi asal, dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting)".
Baca juga: Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Jumat (4/10/2024), Para Pemohon berpendapat bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015. Frasa “di tempat lain” dan “di TPS lain” dalam ketentuan tersebut tidak memberikan kejelasan terkait pemindahan lokasi pemilihan, khususnya bagi pemilih yang harus memilih di luar provinsi atau kabupaten/kota. Akibat ketidakjelasan ini, para Pemohon yang tengah menempuh pendidikan di luar daerah asal terancam kehilangan hak pilih Para Pemohon pada Pilkada 27 November 2024.
Para Pemohon menganggap memenuhi syarat "keadaan tertentu" yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) PKPU Nomor 7 Tahun 2024, karena tidak dapat memilih di TPS asal akibat sedang menempuh pendidikan di tempat lain. Namun, aturan yang ada tidak secara spesifik mengakomodasi pemindahan lokasi pemilih lintas daerah, sehingga Para Pemohon berpotensi tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Sehingga, para Pemohon meminta MK untuk memprioritaskan pemeriksaan permohonan yang diajukan guna melindungi hak konstitusional Para Pemohon dan mencegah terjadinya kerugian konstitusional. Para Pemohon juga memohon agar MK menyatakan frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal.” Selain itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 juga bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Fauzan Febriyan