Mode Suara
Selasa, 05 November 2024 | 08:01
Dilihat : 429JAKARTA, HUMAS MKRI – Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) mengatakan pihaknya berkepentingan untuk memastikan ketentuan yang mengatur penghimpunan zakat, infaq, dan sedekah memungkinkan optimalisasi peran Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam memberdayakan umat dan mengentaskan kemiskinan. LAZISNU memerlukan kepastian hukum atas mekanisme pengelolaan dan distribusi zakat yang dapat memperkuat posisi LAZ dalam masyarakat.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi sejumlah Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sidang pada Selasa (5/11/2024) beragendakan mendengarkan keterangan DPR serta Pihak Terkait yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU), serta LAZISNU.
“Keberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2011 secara langsung memengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga zakat, termasuk LAZISNU, dalam memastikan bahwa dana zakat dikelola secara transparan, akuntabel, dan sesuai syariat Islam. Profesi Amil Zakat adalah profesi yang mulia yang kedudukan hukumnya disebutkan dalam Alqur’an yang menunjukkan bahwa profesi ini adalah profesi suci sebagai tugas yang mulia untuk memastikan sempurnanya ibadah zakat kaum Muslimin,” ujar Sekretaris LAZISNU Moesafa di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Dia melanjutkan, profesi amil zakat adalah profesi yang mulia yang kedudukan hukumnya disebutkan dalam Alqur’an yang menunjukkan profesi ini adalah profesi suci sebagai tugas yang mulia untuk memastikan sempurnanya ibadah zakat kaum Muslimin. Dengan kapasitasnya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas distribusi zakat, LAZISNU memiliki kepentingan agar UU 23/2011, selain memberikan ruang yang berkeadilan bagi LAZ, juga penting meletakkan UU ini sebagai koridor yang menjaga LAZ dari kemungkinan penyalahgunaan dana zakat untuk kepentingan di luar kepentingan mustahik zakat, sehingga LAZ dapat menjaga kepercayaan dan amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat sebagai mitra, muzakki, munfiq dan donatur.
Setiap putusan yang mengubah ketentuan dalam UU 23 Tahun 2011 akan berdampak langsung pada keberlanjutan operasional LAZISNU sebagai lembaga amil zakat. Sebagai lembaga yang memiliki jaringan luas di Indonesia dan aktif dalam pengelolaan zakat untuk kesejahteraan umat, LAZISNU memerlukan landasan hukum yang stabil, adil, dan mendukung agar dapat menjalankan tugasnya secara maksimal, mencapai penerima manfaat yang lebih luas, serta memenuhi harapan umat Islam di Indonesia.
Dalam pokok perkara, LAZISNU berpendapat pembahasan tentang keterbatasan LAZ nasional untuk membuka perwakilan atau istilah lainnya di kabupaten/kota saat ini tidak lagi relevan dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 19 tahun 2024 tentang Lembaga Amil Zakat. Sistem pengelolaan zakat di Indonesia dapat dikategorikan pada sistem yang dilakukan secara sukarela, artinya wewenang pengelolaan zakat berada di tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan zakat. Kesukarelaan ini menyangkut kesukarelaan untuk mengeluarkan atau tidak, maupun kesukarelaan kepada siapa zakat mau disalurkan. Tidak ada kewajiban untuk menyalurkan zakat kepada pihak tertentu.
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia yang dimulai lebih dulu oleh gerakan organisasi keagamaan dari pada negara bukan berarti memindahkan kewenangan pengaturannya dari negara kepada organisasi keagamaan. Hal ini dapat dianalogikan dengan sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang sudah dimulai lebih dulu oleh masyarakat jauh sebelum negara ini berdiri.
“Bahwa proses perijinan LAZ yang melibatkan BAZNAS selama ini tidak menjadi kendala sepanjang persyaratan yang ditentukan telah dipersiapkan secara baik,” kata Moesafa.
Sementara, Wakil Ketua Bidang Penghimpunan dan Kerja sama LAZISMU Ihsan Tanjung mengatakan pihaknya menganggap secara umum pasal yang diuji para Pemohon dalam UU 23/2011 tidak bermasalah. Sebab, pemerintah sebagai amanat UU ini harus membentuk BAZNAS dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab mengkoordinasikan penyelenggaraan zakat dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Terkait dengan usulan Pemohon agar norma pasal diberikan penjelasan maka sepanjang tidak dimaknai dengan pengawas dan pemberi rekomendasi untuk LAZ substansi pasal ini dapat dituangkan dalam Pasal 18 ayat (2) yang juga menjadi pasal yang diajukan Pemohon,” tutur Ihsan.
Di sisi lain, Ketua BAZNAS Republik Indonesia Noor Achmad menyebutkan setelah UU 23/2011 terdapat 181 LAZ berizin yang terdiri dari 48 LAZ nasional, 41 LAZ provinsi, dan 92 LAZ kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia. Dompet Dhuafa, LAZ Muhammadiyah, dan LAZISNU di antara yang masih aktif sebagai LAZ skala nasional. Sedangkan, sebelum UU 23/2011 hanya terdapat 18 LAZ.
Dia mengungkapkan jumlah pengumpulan LAZ lebih tinggi dari jumlah pengumpulan BAZNAS secara nasional. Pada 2023, pengumpulan LAZ mencapai Rp 6,5 triliun lebih tinggi dibandingkan pengumpulan BAZNAS sekitar Rp 3,7 triliun pada tahun yang sama. Menurut Noor, hal ini berkat UU 23/2011 yang berhasil mengoptimalkan peran pemerintah dan masyarakat terhadap pengelolaan zakat.
Sementara, jumlah muzaki dan munfiq pada 2024 kini sebanyak 34 juta orang. Data ini menurut Noor sejalan dengan berlakunya UU 23/2011. “Hal ini menunjukkan bahwa UU 23 Tahun 2011 berhasil meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat terhadap kewajiban berzakat,” kata Noor.
Di samping itu, Anggota Komisi III DPR Republik Indonesia Sarifuddin Sudding yang mewakili DPR memberikan keterangan dalam sidang perkara ini meminta MK menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga tidak dapat diterima. Dia meminta MK menolak permohonan secara keseluruhan dan menyatakan pasal-pasal yang diuji para Pemohon dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Dan apabila Yang Mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” kata Sarifuddin.
Baca juga:
Dompet Dhuafa dan Forum Zakat Jakarta Uji UU Pengelolaan Zakat
Dompet Dhuafa dan Forum Zakat Jakarta Perbaiki Permohonan Uji UU Pengelolaan Zakat
Pemerintah Belum Siap dan DPR Tidak Hadir, Uji UU Pengelolaan Zakat Ditunda
Pemerintah: BAZNAS dan LAZ Sebagai Pelengkap dalam Sistem Pengelolaan Zakat
Sebagai informasi, Para Pemohon perkara ini ialah Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat Jakarta, serta perseorangan Arif Rahmadi Haryono. Mereka menunjuk Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana menjadi bagian dari jajaran tim kuasa hukum. Para Pemohon, baik sebagai lembaga maupun pribadi perorangan, dalam kegiatannya berhubungan erat dengan praktik pengelolaan zakat.
Para Pemohon yang merupakan muzaki mengaku mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya dikarenakan dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam pasal dan/atau ayat dalam UU 23/2011. Lembaga-lembaga bentukan masyarakat yang telah lebih dahulu berdiri tersebut telah dan masih melakukan edukasi, kampanye, sosialisasi tentang Zakat Infak Sedekah (ZIS) secara bertahap sampai saat ini.
LAZ yang telah ada terlebih dahulu, berharap adanya kesetaraan peran dan tugas antara BAZNAS dan LAZ, sebagai pembagian jenis bank pemerintah (plat merah) dan bank milik swasta (plat hitam) yang memiliki kesetaraan tetapi dibedakan dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia bertanggungjawab atas kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem keuangan, serta menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah.
Para Pemohon melihat adanya Pasal 5 ayat (1) memperlihatkan secara tersirat dan tersurat tujuan utama pembentukan BAZNAS adalah mengambil alih pengumpulan zakat yang selama ini sudah dilakukan masyarakat untuk kemudian dikelola negara dan menegasikan sejarah pengelolaan masyarakat terhadap zakat. Padahal pernah terjadi, di saat BAZNAS baru dibentuk, untuk memberikan pembelajaran dan pengalaman kepada BAZNAS, dilakukan kerjasama pengelolaan zakat antara BAZNAS dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika, saat itu dikenal sebagai Baznas Dompet Dhuafa. Kerjasama tersebut dilaksanakan karena BAZNAS belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan zakat.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut melupakan historis misalnya tidak melibatkan lembaga pengelola zakat yang suda0068 ada sebelum berdirinya BAZNAS dalam merancang peraturan tentang pengelolaan zakat ini. Undang-undang ini juga tidak memfasilitas lembaga-lembaga pengelola zakat dari masyarakat.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) sesuai dengan yang diinginkan Pemohon.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Sekretaris LAZISNU, Moesafa menyampaikan keterangan sebagai Pihak Terkait perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pada Selasa (5/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas/Panji
Selasa, 05 November 2024 | 08:01
Dibaca: 429
JAKARTA, HUMAS MKRI – Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) mengatakan pihaknya berkepentingan untuk memastikan ketentuan yang mengatur penghimpunan zakat, infaq, dan sedekah memungkinkan optimalisasi peran Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam memberdayakan umat dan mengentaskan kemiskinan. LAZISNU memerlukan kepastian hukum atas mekanisme pengelolaan dan distribusi zakat yang dapat memperkuat posisi LAZ dalam masyarakat.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi sejumlah Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sidang pada Selasa (5/11/2024) beragendakan mendengarkan keterangan DPR serta Pihak Terkait yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU), serta LAZISNU.
“Keberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2011 secara langsung memengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga zakat, termasuk LAZISNU, dalam memastikan bahwa dana zakat dikelola secara transparan, akuntabel, dan sesuai syariat Islam. Profesi Amil Zakat adalah profesi yang mulia yang kedudukan hukumnya disebutkan dalam Alqur’an yang menunjukkan bahwa profesi ini adalah profesi suci sebagai tugas yang mulia untuk memastikan sempurnanya ibadah zakat kaum Muslimin,” ujar Sekretaris LAZISNU Moesafa di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Dia melanjutkan, profesi amil zakat adalah profesi yang mulia yang kedudukan hukumnya disebutkan dalam Alqur’an yang menunjukkan profesi ini adalah profesi suci sebagai tugas yang mulia untuk memastikan sempurnanya ibadah zakat kaum Muslimin. Dengan kapasitasnya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas distribusi zakat, LAZISNU memiliki kepentingan agar UU 23/2011, selain memberikan ruang yang berkeadilan bagi LAZ, juga penting meletakkan UU ini sebagai koridor yang menjaga LAZ dari kemungkinan penyalahgunaan dana zakat untuk kepentingan di luar kepentingan mustahik zakat, sehingga LAZ dapat menjaga kepercayaan dan amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat sebagai mitra, muzakki, munfiq dan donatur.
Setiap putusan yang mengubah ketentuan dalam UU 23 Tahun 2011 akan berdampak langsung pada keberlanjutan operasional LAZISNU sebagai lembaga amil zakat. Sebagai lembaga yang memiliki jaringan luas di Indonesia dan aktif dalam pengelolaan zakat untuk kesejahteraan umat, LAZISNU memerlukan landasan hukum yang stabil, adil, dan mendukung agar dapat menjalankan tugasnya secara maksimal, mencapai penerima manfaat yang lebih luas, serta memenuhi harapan umat Islam di Indonesia.
Dalam pokok perkara, LAZISNU berpendapat pembahasan tentang keterbatasan LAZ nasional untuk membuka perwakilan atau istilah lainnya di kabupaten/kota saat ini tidak lagi relevan dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 19 tahun 2024 tentang Lembaga Amil Zakat. Sistem pengelolaan zakat di Indonesia dapat dikategorikan pada sistem yang dilakukan secara sukarela, artinya wewenang pengelolaan zakat berada di tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan zakat. Kesukarelaan ini menyangkut kesukarelaan untuk mengeluarkan atau tidak, maupun kesukarelaan kepada siapa zakat mau disalurkan. Tidak ada kewajiban untuk menyalurkan zakat kepada pihak tertentu.
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia yang dimulai lebih dulu oleh gerakan organisasi keagamaan dari pada negara bukan berarti memindahkan kewenangan pengaturannya dari negara kepada organisasi keagamaan. Hal ini dapat dianalogikan dengan sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang sudah dimulai lebih dulu oleh masyarakat jauh sebelum negara ini berdiri.
“Bahwa proses perijinan LAZ yang melibatkan BAZNAS selama ini tidak menjadi kendala sepanjang persyaratan yang ditentukan telah dipersiapkan secara baik,” kata Moesafa.
Sementara, Wakil Ketua Bidang Penghimpunan dan Kerja sama LAZISMU Ihsan Tanjung mengatakan pihaknya menganggap secara umum pasal yang diuji para Pemohon dalam UU 23/2011 tidak bermasalah. Sebab, pemerintah sebagai amanat UU ini harus membentuk BAZNAS dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab mengkoordinasikan penyelenggaraan zakat dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Terkait dengan usulan Pemohon agar norma pasal diberikan penjelasan maka sepanjang tidak dimaknai dengan pengawas dan pemberi rekomendasi untuk LAZ substansi pasal ini dapat dituangkan dalam Pasal 18 ayat (2) yang juga menjadi pasal yang diajukan Pemohon,” tutur Ihsan.
Di sisi lain, Ketua BAZNAS Republik Indonesia Noor Achmad menyebutkan setelah UU 23/2011 terdapat 181 LAZ berizin yang terdiri dari 48 LAZ nasional, 41 LAZ provinsi, dan 92 LAZ kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia. Dompet Dhuafa, LAZ Muhammadiyah, dan LAZISNU di antara yang masih aktif sebagai LAZ skala nasional. Sedangkan, sebelum UU 23/2011 hanya terdapat 18 LAZ.
Dia mengungkapkan jumlah pengumpulan LAZ lebih tinggi dari jumlah pengumpulan BAZNAS secara nasional. Pada 2023, pengumpulan LAZ mencapai Rp 6,5 triliun lebih tinggi dibandingkan pengumpulan BAZNAS sekitar Rp 3,7 triliun pada tahun yang sama. Menurut Noor, hal ini berkat UU 23/2011 yang berhasil mengoptimalkan peran pemerintah dan masyarakat terhadap pengelolaan zakat.
Sementara, jumlah muzaki dan munfiq pada 2024 kini sebanyak 34 juta orang. Data ini menurut Noor sejalan dengan berlakunya UU 23/2011. “Hal ini menunjukkan bahwa UU 23 Tahun 2011 berhasil meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat terhadap kewajiban berzakat,” kata Noor.
Di samping itu, Anggota Komisi III DPR Republik Indonesia Sarifuddin Sudding yang mewakili DPR memberikan keterangan dalam sidang perkara ini meminta MK menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga tidak dapat diterima. Dia meminta MK menolak permohonan secara keseluruhan dan menyatakan pasal-pasal yang diuji para Pemohon dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Dan apabila Yang Mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” kata Sarifuddin.
Baca juga:
Dompet Dhuafa dan Forum Zakat Jakarta Uji UU Pengelolaan Zakat
Dompet Dhuafa dan Forum Zakat Jakarta Perbaiki Permohonan Uji UU Pengelolaan Zakat
Pemerintah Belum Siap dan DPR Tidak Hadir, Uji UU Pengelolaan Zakat Ditunda
Pemerintah: BAZNAS dan LAZ Sebagai Pelengkap dalam Sistem Pengelolaan Zakat
Sebagai informasi, Para Pemohon perkara ini ialah Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat Jakarta, serta perseorangan Arif Rahmadi Haryono. Mereka menunjuk Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana menjadi bagian dari jajaran tim kuasa hukum. Para Pemohon, baik sebagai lembaga maupun pribadi perorangan, dalam kegiatannya berhubungan erat dengan praktik pengelolaan zakat.
Para Pemohon yang merupakan muzaki mengaku mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya dikarenakan dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam pasal dan/atau ayat dalam UU 23/2011. Lembaga-lembaga bentukan masyarakat yang telah lebih dahulu berdiri tersebut telah dan masih melakukan edukasi, kampanye, sosialisasi tentang Zakat Infak Sedekah (ZIS) secara bertahap sampai saat ini.
LAZ yang telah ada terlebih dahulu, berharap adanya kesetaraan peran dan tugas antara BAZNAS dan LAZ, sebagai pembagian jenis bank pemerintah (plat merah) dan bank milik swasta (plat hitam) yang memiliki kesetaraan tetapi dibedakan dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia bertanggungjawab atas kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem keuangan, serta menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah.
Para Pemohon melihat adanya Pasal 5 ayat (1) memperlihatkan secara tersirat dan tersurat tujuan utama pembentukan BAZNAS adalah mengambil alih pengumpulan zakat yang selama ini sudah dilakukan masyarakat untuk kemudian dikelola negara dan menegasikan sejarah pengelolaan masyarakat terhadap zakat. Padahal pernah terjadi, di saat BAZNAS baru dibentuk, untuk memberikan pembelajaran dan pengalaman kepada BAZNAS, dilakukan kerjasama pengelolaan zakat antara BAZNAS dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika, saat itu dikenal sebagai Baznas Dompet Dhuafa. Kerjasama tersebut dilaksanakan karena BAZNAS belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan zakat.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut melupakan historis misalnya tidak melibatkan lembaga pengelola zakat yang suda0068 ada sebelum berdirinya BAZNAS dalam merancang peraturan tentang pengelolaan zakat ini. Undang-undang ini juga tidak memfasilitas lembaga-lembaga pengelola zakat dari masyarakat.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) sesuai dengan yang diinginkan Pemohon.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan