Mode Suara

Eric Cihanes dan Garin Arian Reswara yang merupakan mahasiswa saat sidang pengujian konstitusionalitas Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, Rabu (30/10/2024). Foto Humas/Bayu

Rabu, 30 Oktober 2024 | 09:56

Dibaca: 531

Warga Negara Uji UU Pelindungan Data Pribadi

JAKARTA, HUMAS MKRI - Eric Cihanes (Pemohon I) dan Garin Arian Reswara (Pemohon II) yang merupakan mahasiswa mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) terhadap Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para Pemohon mempersoalkan frasa “dan” pada akhir kalimat butir b dalam pasal a quo terkait ketentuan kewajiban pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi menunjuk pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi pelindungan data pribadi.

“Hal ini berarti kriteria penunjukan PPDP (Pelindungan Data Pribadi) yang dirumuskan dengan penggunaan kata ‘dan’ merupakan kriteria yang bersifat kumulatif, yang artinya Pengendali Data dan Prosesor Data baru diwajibkan untuk menunjuk PPDP apabila memenuhi seluruh atau ketiga kriteria pada butir a, b, dan c pada Pasal 53 ayat (1) UU PDP tersebut secara bersamaan atau keseluruhan,” ujar Eric dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 151/PUU-XXII/2024 pada Rabu (30/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Pasal 53 ayat (1) UU PDP selengkapnya berbunyi, “Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi wajib menunjuk pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi dalam hal: (a) pemrosesan Data Pribadi untuk kepentingan pelayanan publik; (b) kegiatan inti Pengendali Data Pribadi memiliki sifat, ruang lingkup, dan/atau tujuan yang memerlukan pemantauan secara teratur dan sistematis atas Data Pribadi dengan skala besar; dan (c) kegiatan inti Pengendali Data Pribadi terdiri dari pemrosesan Data Pribadi dalam skala besar untuk Data Pribadi yang bersifat spesifik dan/atau Data Pribadi yang berkaitan dengan tindak pidana.” Kriteria penunjukan PPDP yang dirumuskan secara kumulatif tersebut telah mempersempit cakupan dari organisasi pengendali data dan prosesor data yang diwajibkan melakukan penunjukkan PPDP.

Dalam hal ini, kata para Pemohon, organisasi pengendali data dan prosesor data yang hanya memenuhi salah satu atau dua dari ketiga syarat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP menjadi tidak diwajibkan untuk menunjuk PPDP. Padahal, masing-masing kriteria dalam setiap butir pada pasal a quo merupakan kriteria aktivitas pemrosesan data pribadi yang dikategorikan sebagai pemrosesan data pribadi yang memiliki potensi risiko tinggi terhadap subjek data pribadi yang juga ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (2) UU PDP.

Garin melanjutkan, kehadiran PPDP memegang peran yang sangat esensial dalam menjamin terlaksananya pelindungan data pribadi, PPDP hadir melakukan pengawasan terhadap kepatuhan sebuah organisasi Pengendali Data dan/atau Prosesor Data sepanjang berkaitan dengan pelindungan data pribadi berdasarkan UU PDP terutama dalam hal kepatuhan terhadap kewajibannya. Selan itu, kaidah kewajiban tersebut tentunya diikuti dengan pengaturan sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut, instrumen sanksi yang dalam hal ini digunakan untuk mendorong kepatuhan terhadap kewajiban penunjukan PPDP dalam norma pasal a quo.

“Dengan demikian, penggunaan kata ‘dan’ dalam merumuskan rincian syarat dalam pasal 53 ayat (1) UU PDP telah membatasi kewajiban penunjukan PPDP hanya untuk organisasi Pengendali Data dan Prosesor Data yang memenuhi semua kriteria secara kumulatif secara bersamaan. Sehingga, ini menurunkan kedayagunaan Pasal tersebut yang berisikan norma kewajiban dan juga kaitan dengan Pasal 57 UU PDP yang merupakan norma sanksi apabila melanggar norma kewajiban dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP,” kata Garin.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 53 ayat (1) UU PDP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dan” tidak dimaknai dengan “dan/atau”.

Perkara Nomor 151/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Dalam nasihatnya Daniel mempertanyakan kerugian negara akibat pemberlakuan norma yang diuji di samping adanya kerugian para Pemohon.

“Ada enggak kerugian negara atau dampaknya apa. Para Pemohon masih menguraikan dari perspektif para Pemohon, tapi bagaimana kalau dari perspektif negara misalnya, kira-kira apa dampaknya, ada enggak kerugian negara dan seterusnya supaya para Pemohon bisa lihat lebih komprehensif, tidak bicara kepentingan sendiri,” kata Daniel.

Sebelum menutup persidangan, Arief mangatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 12 November 2024 pada jam kerja Mahkamah. (*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan