Mode Suara
Selasa, 01 Oktober 2024 | 09:05
Dilihat : 202JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah organisasi serikat pekerja mengajukan pengujian materi Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 64 huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Para Pemohon antara lain, Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Dalam permohonan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal dalam UU Tapera tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Para Pemohon selaku serikat-serikat buruh yang menaungi jutaan buruh merasa kebijakan pemerintah terkait setiap pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi anggota Tapera telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan tersebut bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
“Selain itu, Para Pemohon juga merasa hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan jaminan sosial inilah yang dilanggar, atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar akibat ketentuan pasal-pasal a quo dalam UU Tapera,” ujar kuasa hukum para Pemohon Muhammad Raziv Barokah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (01/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Sebagai informasi, Pasal 7 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.” Kemudian Pasal 9 ayat (1) UU Tapera menyatakan, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.” Sementara, Pasal 64 huruf a UU Tapera menyebutkan, “Pemberi Kerja berkewajiban untuk: a. mendaftarkan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai Peserta;”
Bagi Para Pemohon yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat pekerja MBR, yakni masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman), tentu potongan upah sebesar 3 persen akan semakin membebani hidup mereka di tengah kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang ala kadarnya. Selain potongan Tapera tersebut, sejatinya beban hidup mereka telah banyak dari potongan program-program jaminan sosial lainnya, sehingga membuat kehidupan mereka semakin tertekan, khususnya oleh kenaikan inflasi.
Bagi pekerja non-MBR yang notabene dapat dikatakan telah aman secara finansial dan mungkin telah memiliki hunian setidaknya satu unit, isu utama terfokus pada asas kemanfaatan dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang disetorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari, sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya setelah masuk usia pensiun. Kendati kelak akan disematkan predikat “penabung mulia”, sepertinya tidak akan berdampak apapun bagi pekerja non-MBR dari segi kemanfaatan.
Sama halnya dengan pemberi kerja yang wajib menyetorkan 0,5 persen bagi program Tapera, tentu akan menjadi beban tambahan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut dapat mengganggu jalannya produktivitas usaha mengingat munculnya beban tanggungan baru.
Di sisi lain, sebagai masyarakat berpenghasilan di Indonesia, khususnya yang memiliki penghasilan rendah, telah mendapatkan potongan-potongan wajib yang cukup banyak. Adapun potongan-potongan tersebut antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta Pajak Penghasilan (PPh). Para Pemohon memperkirakan seorang pekerja yang setiap bulannya wajib membayar iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPh21 mendapatkan potongan pendapatan berkisar pada angka 8,7 persen dari gaji per bulan yang didapatkan.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sepanjang frasa “wajib” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Persidangan pengujian materi UU Taper aini dilaksanakan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Majelis hakim dalam nasihatnya menyoroti beberapa hal, di antaranya soal norma yang diujikan, kedudukan hukum (legal standing) dan petitum.
Daniel dalam nasihatnya mengatakan, jika kata “wajib” dihilangkan dalam norma pasal a quo, justru akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Para Pemohon tidak mengajukan alternatif ketentuan ketika pasal a quo khususnya kata “wajib” dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
“Kalau misalnya semua katanya itu ‘wajib’ kalau permohonan lain kan kata ‘wajib’ diganti kata ‘dapat’. Tapi kalau dihilangkan kata ‘wajib’…, maknanya jadi seperti apa kalau dihilangkan, bisa juga nanti akhirnya multitafsir,” kata Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan, para Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 15 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.
Sejumlah organisasi serikat pekerja dengan didampingi kuasa hukumnya mengajukan pengujian materi Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 64 huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera), Selasa (1/10/2024). Foto Humas/Bayu
Selasa, 01 Oktober 2024 | 09:05
Dibaca: 202
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah organisasi serikat pekerja mengajukan pengujian materi Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 64 huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Para Pemohon antara lain, Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Dalam permohonan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal dalam UU Tapera tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Para Pemohon selaku serikat-serikat buruh yang menaungi jutaan buruh merasa kebijakan pemerintah terkait setiap pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi anggota Tapera telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan tersebut bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
“Selain itu, Para Pemohon juga merasa hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan jaminan sosial inilah yang dilanggar, atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar akibat ketentuan pasal-pasal a quo dalam UU Tapera,” ujar kuasa hukum para Pemohon Muhammad Raziv Barokah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (01/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Sebagai informasi, Pasal 7 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.” Kemudian Pasal 9 ayat (1) UU Tapera menyatakan, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.” Sementara, Pasal 64 huruf a UU Tapera menyebutkan, “Pemberi Kerja berkewajiban untuk: a. mendaftarkan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai Peserta;”
Bagi Para Pemohon yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat pekerja MBR, yakni masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman), tentu potongan upah sebesar 3 persen akan semakin membebani hidup mereka di tengah kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang ala kadarnya. Selain potongan Tapera tersebut, sejatinya beban hidup mereka telah banyak dari potongan program-program jaminan sosial lainnya, sehingga membuat kehidupan mereka semakin tertekan, khususnya oleh kenaikan inflasi.
Bagi pekerja non-MBR yang notabene dapat dikatakan telah aman secara finansial dan mungkin telah memiliki hunian setidaknya satu unit, isu utama terfokus pada asas kemanfaatan dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang disetorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari, sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya setelah masuk usia pensiun. Kendati kelak akan disematkan predikat “penabung mulia”, sepertinya tidak akan berdampak apapun bagi pekerja non-MBR dari segi kemanfaatan.
Sama halnya dengan pemberi kerja yang wajib menyetorkan 0,5 persen bagi program Tapera, tentu akan menjadi beban tambahan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut dapat mengganggu jalannya produktivitas usaha mengingat munculnya beban tanggungan baru.
Di sisi lain, sebagai masyarakat berpenghasilan di Indonesia, khususnya yang memiliki penghasilan rendah, telah mendapatkan potongan-potongan wajib yang cukup banyak. Adapun potongan-potongan tersebut antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta Pajak Penghasilan (PPh). Para Pemohon memperkirakan seorang pekerja yang setiap bulannya wajib membayar iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPh21 mendapatkan potongan pendapatan berkisar pada angka 8,7 persen dari gaji per bulan yang didapatkan.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sepanjang frasa “wajib” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Persidangan pengujian materi UU Taper aini dilaksanakan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Majelis hakim dalam nasihatnya menyoroti beberapa hal, di antaranya soal norma yang diujikan, kedudukan hukum (legal standing) dan petitum.
Daniel dalam nasihatnya mengatakan, jika kata “wajib” dihilangkan dalam norma pasal a quo, justru akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Para Pemohon tidak mengajukan alternatif ketentuan ketika pasal a quo khususnya kata “wajib” dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
“Kalau misalnya semua katanya itu ‘wajib’ kalau permohonan lain kan kata ‘wajib’ diganti kata ‘dapat’. Tapi kalau dihilangkan kata ‘wajib’…, maknanya jadi seperti apa kalau dihilangkan, bisa juga nanti akhirnya multitafsir,” kata Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan, para Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 15 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.