Mode Suara
Rabu, 07 Februari 2024 | 09:47
Dilihat : 14635654JAKARTA, HUMAS MKRI – Tiga belas kepala daerah mengajukan pengujian Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (7/2/2024).
Adapun 13 orang kepala daerah dimaksud yaitu Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah)
Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.“ Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.“ Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada menyatakan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksudkan pada ayat (5), diangkat pejabat Gubernur, pejabat Bupati, dan pejabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.“
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra ini, Donal Fariz selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan lima permohonan sebelumnya yang pernah diujikan ke MK, yaitu Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019, 67/PUU-XIX/2021, 18/PUU-XX/2022, 37/PUU-XX/2022, 95/PUU-XX/2022 pada permohonan ini, sambung Fariz, terdapat perbedaan pada batu uji yang dijadikan landasan konstitusional. Selain itu, pada pokok permohonan para Pemohon menilai pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024, sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu tahun 2019, menunjukan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam Pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan. Sehingga apabila tahapan Pilkada Serentak Nasional 2024 dipaksakan dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres dan Pileg 2024, maka hal itu dapat berakibat fatal sebab berpotensi kejadian buruk Pemilu tahun 2019 terulang kembali. Hal ini berpotensi memunculkan kekacauan teknis yang berimpilikasi pada terlanggarnya ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang.
Selain itu para Pemohon berpendapat keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada berpotensi terciptanya korupsi yang lebih tinggi, memunculkan gangguan keamanan dan ketertiban yang besar, dan menimbulkan penumpukan hasil sengketa pemilihan umum di MK. Tak hanya itu, para Pemohon juga berpandangan bahwa pentingnya mengatur kembali jadwal pemilihan kepala daerah dengan mempertimbangkan kompleksitas dalam penyelenggaraan pilkada serentak tersebut.
Tinjau Ulang Jadwal Pilkada
Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar meninjau ulang jadwal penyelenggaraan Pilkada, khususnya terhadap 270 daerah otonomi yang menyelenggarakan Pilkada di tahun 2020. Menurut para Pemohon, berdasarkan pendekatan judicial activism yang dilakukan oleh Mahkamah selama ini, persoalan ini penting untuk diselesaikan, dengan membagi kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan secara serentak dengan rincian, 276 daerah tetap menyelenggarakan pemilihan pada November 2024, dengan pertimbangan agar segera terdapat kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat, dan 270 daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat menyelenggarakan pemilihan pada bulan Desember 2025
Pada permohonan para Pemohon tidak hanya menyoal masa jabatan yang terpotong, tetapi juga memberikan usulan penataan jadwal Pilkada yang jauh lebih rasional berdasarkan indikator dan prasyarat yang diuraikan MK dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dengan digesernya waktu penyelenggaraan pemilihan terhadap 270 kepala daerah menjadi Desember 2025 ini akan mengurangi beban aparat keamanan dalam mengamankan penyelenggaraan pilkada dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.
“Di sini pentingnya peran MK dalam memperbaiki tata kelola pemilu dalam merumuskan norma baru dalam undang-undang. Dalam praktiknya judicial activism yang dilakukan MK memiliki level independensi yang cukup tinggi untuk mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat dan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional serta menyelesaikan kebutuhan hukum,” sebut Fariz.
Kenapa Diujung Masa Jabatan?
Atas dalil permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan beberapa catatan nasihat, di antaranya mempertanyakan pengajuan permohonan pada ujung masa jabatan. Sebab pada ketentuan yang ada pada pasal yang diujikan merupakan aturan masa peralihan dengan dilengkapi aturan kompensasi. “Pada uraian kerugian hak konstitusional tidak tergambar apa yang menjadi kerugian para Pemohon ini?” tanya Enny.
Berikutnya Enny juga meminta agar para Pemohon mencarikan gambaran dengan elaborasi yang lebih meyakinkan tentang desain perlunya ada pemilihan yang serentak bagi kepala daerah dalam kaitan sistem perencanaan pembangunan nasional.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan catatan mengenai perlu penjelasan alasan permohonan dengan petitum yang harus selaras. “Dijelaskan dengan baik lagi untuk menunjukkan dalil-dalil permohonan yang disebutkan misalnya potensi gangguan keamanan menjadi besar, beban kerja penumpukan perkara sengketa pilkada. Sedangkan Wakil Ketua MK Saldi memberikan catatan mengenai perlu bagi para Pemohon untuk membantu MK dalam memberikan koreksi putusan-putusan sebelumnya yang berimplikasi pada permohonan yang diajukan pada kesempatan ini. “MK harus memperhitungkan permohonan yang diajukan ke MK tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahwa desain pilkada serentak sudah ditegaskan putusan MK sebelumnya, maka tugas kuasa hukum untuk mencarikan argumentasi politik hukum pemilihan kepala daerah yang melanggar hak konstitusional yang dimaksudkan,” terang Saldi.
Pada akhir persidangan, Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 20 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 pengujian Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (7/2/2024). Foto Humas/Fauzan
Rabu, 07 Februari 2024 | 09:47
Dibaca: 14635654
JAKARTA, HUMAS MKRI – Tiga belas kepala daerah mengajukan pengujian Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (7/2/2024).
Adapun 13 orang kepala daerah dimaksud yaitu Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah)
Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.“ Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.“ Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada menyatakan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksudkan pada ayat (5), diangkat pejabat Gubernur, pejabat Bupati, dan pejabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.“
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra ini, Donal Fariz selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan lima permohonan sebelumnya yang pernah diujikan ke MK, yaitu Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019, 67/PUU-XIX/2021, 18/PUU-XX/2022, 37/PUU-XX/2022, 95/PUU-XX/2022 pada permohonan ini, sambung Fariz, terdapat perbedaan pada batu uji yang dijadikan landasan konstitusional. Selain itu, pada pokok permohonan para Pemohon menilai pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024, sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu tahun 2019, menunjukan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam Pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan. Sehingga apabila tahapan Pilkada Serentak Nasional 2024 dipaksakan dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres dan Pileg 2024, maka hal itu dapat berakibat fatal sebab berpotensi kejadian buruk Pemilu tahun 2019 terulang kembali. Hal ini berpotensi memunculkan kekacauan teknis yang berimpilikasi pada terlanggarnya ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang.
Selain itu para Pemohon berpendapat keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada berpotensi terciptanya korupsi yang lebih tinggi, memunculkan gangguan keamanan dan ketertiban yang besar, dan menimbulkan penumpukan hasil sengketa pemilihan umum di MK. Tak hanya itu, para Pemohon juga berpandangan bahwa pentingnya mengatur kembali jadwal pemilihan kepala daerah dengan mempertimbangkan kompleksitas dalam penyelenggaraan pilkada serentak tersebut.
Tinjau Ulang Jadwal Pilkada
Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar meninjau ulang jadwal penyelenggaraan Pilkada, khususnya terhadap 270 daerah otonomi yang menyelenggarakan Pilkada di tahun 2020. Menurut para Pemohon, berdasarkan pendekatan judicial activism yang dilakukan oleh Mahkamah selama ini, persoalan ini penting untuk diselesaikan, dengan membagi kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan secara serentak dengan rincian, 276 daerah tetap menyelenggarakan pemilihan pada November 2024, dengan pertimbangan agar segera terdapat kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat, dan 270 daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat menyelenggarakan pemilihan pada bulan Desember 2025
Pada permohonan para Pemohon tidak hanya menyoal masa jabatan yang terpotong, tetapi juga memberikan usulan penataan jadwal Pilkada yang jauh lebih rasional berdasarkan indikator dan prasyarat yang diuraikan MK dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dengan digesernya waktu penyelenggaraan pemilihan terhadap 270 kepala daerah menjadi Desember 2025 ini akan mengurangi beban aparat keamanan dalam mengamankan penyelenggaraan pilkada dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.
“Di sini pentingnya peran MK dalam memperbaiki tata kelola pemilu dalam merumuskan norma baru dalam undang-undang. Dalam praktiknya judicial activism yang dilakukan MK memiliki level independensi yang cukup tinggi untuk mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat dan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional serta menyelesaikan kebutuhan hukum,” sebut Fariz.
Kenapa Diujung Masa Jabatan?
Atas dalil permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan beberapa catatan nasihat, di antaranya mempertanyakan pengajuan permohonan pada ujung masa jabatan. Sebab pada ketentuan yang ada pada pasal yang diujikan merupakan aturan masa peralihan dengan dilengkapi aturan kompensasi. “Pada uraian kerugian hak konstitusional tidak tergambar apa yang menjadi kerugian para Pemohon ini?” tanya Enny.
Berikutnya Enny juga meminta agar para Pemohon mencarikan gambaran dengan elaborasi yang lebih meyakinkan tentang desain perlunya ada pemilihan yang serentak bagi kepala daerah dalam kaitan sistem perencanaan pembangunan nasional.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan catatan mengenai perlu penjelasan alasan permohonan dengan petitum yang harus selaras. “Dijelaskan dengan baik lagi untuk menunjukkan dalil-dalil permohonan yang disebutkan misalnya potensi gangguan keamanan menjadi besar, beban kerja penumpukan perkara sengketa pilkada. Sedangkan Wakil Ketua MK Saldi memberikan catatan mengenai perlu bagi para Pemohon untuk membantu MK dalam memberikan koreksi putusan-putusan sebelumnya yang berimplikasi pada permohonan yang diajukan pada kesempatan ini. “MK harus memperhitungkan permohonan yang diajukan ke MK tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahwa desain pilkada serentak sudah ditegaskan putusan MK sebelumnya, maka tugas kuasa hukum untuk mencarikan argumentasi politik hukum pemilihan kepala daerah yang melanggar hak konstitusional yang dimaksudkan,” terang Saldi.
Pada akhir persidangan, Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 20 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.