Mode Suara
Kamis, 14 November 2024 | 04:31
Dilihat : 161JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pencabutan atas permohonan uji Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 149/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Terhadap permohonan yang diajukan oleh Zulferinanda yang berprofesi sebagai karyawan ini, Ketua MK Suhartoyo membacakan bahwa Mahkamah telah menerima permohonan Pemohon pada 30 September 2024. Kemudian pada 24 Oktober 2024 telah pula diselenggarakan agenda Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan serta Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK. Dalam penasihatan tersebut, Pemohon diminta untuk memperbaiki argumentasi kerugian konstitusional dan alasan permohonannya. Selain itu, sambung Suhartoyo, Pemohon perlu membandingkan objek pengujian menyangkut pajak yang sejenis. Dan berkenaan dengan deviden, Pemohon perlu menjawab tentang apakah pajak deviden dan pajak penghasilan, yang apabila diinvestasikan kembali akan dapat dikenakan pajak.
Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah memerikan kesempatan kepada Pemohon untuk menyempurnakan permohonanya. Akan tetapi pada Jumat, 1 November 2024 Kepaniteraan MK menerima surat pencabutan perkara bertangal 31 Oktober 2024. Selanjutnya terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon ini, Mahkamah dengan berpedoman pada Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menetapkan beberapa ketetapan terhadap permohonan perkara ini.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon; menyatakan permohonan Nomor 149/PUU-XXII/2024 ditrarik kembali; menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo; memerintahkan Panitera MK untuk mencatat perihak penarikan kembali permohonan dalam nuku registrasi perkara konstitusi elektronik dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon,” ucap Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga: Dividen Dalam Negeri dengan Syarat Tertentu Dikenai PPh Memberatkan Wajib Pajak Orang Pribadi
Sebelumnya, Pemohon menyebutkan Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) UU HPP yang berbunyi, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak: a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri” dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Sebab, pada norma baru disebutkan dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi di dalam negeri tidak lagi sebagai objek PPh (pajak penghasilan), sepanjang dividen tersebut dinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu paling singkat tiga tahun pajak, terhitung sejak tahun pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2021 yang menjadi norma aturan turunan dari UU HPP.
Dengan kata lain, dividen berupa tabungan atau deposito yang disimpan di dalam negeri selama tiga tahun sudah bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh atau sederhananya akan menjadi objek yang dikenai PPh. Atas dasar hal tersebut, Pemohon menilai tidak adil jika penghasilan berupa gaji/honor/bonus yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari para karyawan dikenai PPh, sedangkan dividen yang diterima pengusaha yang menginvestasikan kelebihan dana perusahaannya dalam bentuk saham tidak dikenai PPh.
Oleh karena itu, menetapkan penghasilan dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak orang pribadi sebagai salah satu bukan objek PPh dengan syarat tertentu dianggap sebagai keputusan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan bahkan dapat menimbulkan ketidakadilan dan perbedaan perlakuan wajib pajak orang pribadi pengusaha dengan wajib pajak orang pribadi lainnya seperti karyawan/pegawai sehingga perlu menghapus norma tersebut. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina
Ketua MK, Suhartoyo membacakan Ketetapan terkait permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), diruang sidang Pleno MK, pada Kamis (14/11/2024). Foto: Humas/Panji
Kamis, 14 November 2024 | 04:31
Dibaca: 161
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pencabutan atas permohonan uji Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 149/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Terhadap permohonan yang diajukan oleh Zulferinanda yang berprofesi sebagai karyawan ini, Ketua MK Suhartoyo membacakan bahwa Mahkamah telah menerima permohonan Pemohon pada 30 September 2024. Kemudian pada 24 Oktober 2024 telah pula diselenggarakan agenda Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan serta Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK. Dalam penasihatan tersebut, Pemohon diminta untuk memperbaiki argumentasi kerugian konstitusional dan alasan permohonannya. Selain itu, sambung Suhartoyo, Pemohon perlu membandingkan objek pengujian menyangkut pajak yang sejenis. Dan berkenaan dengan deviden, Pemohon perlu menjawab tentang apakah pajak deviden dan pajak penghasilan, yang apabila diinvestasikan kembali akan dapat dikenakan pajak.
Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah memerikan kesempatan kepada Pemohon untuk menyempurnakan permohonanya. Akan tetapi pada Jumat, 1 November 2024 Kepaniteraan MK menerima surat pencabutan perkara bertangal 31 Oktober 2024. Selanjutnya terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon ini, Mahkamah dengan berpedoman pada Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menetapkan beberapa ketetapan terhadap permohonan perkara ini.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon; menyatakan permohonan Nomor 149/PUU-XXII/2024 ditrarik kembali; menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo; memerintahkan Panitera MK untuk mencatat perihak penarikan kembali permohonan dalam nuku registrasi perkara konstitusi elektronik dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon,” ucap Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga: Dividen Dalam Negeri dengan Syarat Tertentu Dikenai PPh Memberatkan Wajib Pajak Orang Pribadi
Sebelumnya, Pemohon menyebutkan Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) UU HPP yang berbunyi, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak: a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri” dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Sebab, pada norma baru disebutkan dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi di dalam negeri tidak lagi sebagai objek PPh (pajak penghasilan), sepanjang dividen tersebut dinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu paling singkat tiga tahun pajak, terhitung sejak tahun pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2021 yang menjadi norma aturan turunan dari UU HPP.
Dengan kata lain, dividen berupa tabungan atau deposito yang disimpan di dalam negeri selama tiga tahun sudah bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh atau sederhananya akan menjadi objek yang dikenai PPh. Atas dasar hal tersebut, Pemohon menilai tidak adil jika penghasilan berupa gaji/honor/bonus yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari para karyawan dikenai PPh, sedangkan dividen yang diterima pengusaha yang menginvestasikan kelebihan dana perusahaannya dalam bentuk saham tidak dikenai PPh.
Oleh karena itu, menetapkan penghasilan dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak orang pribadi sebagai salah satu bukan objek PPh dengan syarat tertentu dianggap sebagai keputusan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan bahkan dapat menimbulkan ketidakadilan dan perbedaan perlakuan wajib pajak orang pribadi pengusaha dengan wajib pajak orang pribadi lainnya seperti karyawan/pegawai sehingga perlu menghapus norma tersebut. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina