Mode Suara

Para Pemohon dan Kuasa Hukumnya saat mengikuti sidang panel perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang tentang Persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, Kamis (25/07) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Kamis, 25 Juli 2024 | 06:39

Dibaca: 1267

Pemohon Ajukan Provisi Mohon Perkara Diputus Sebelum Pencalonan Kepala Daerah

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang dengan agenda perbaikan permohonan untuk tiga perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024, 71/PUU-XXII/2024, dan 72/PUU-XXII/2024 pada Kamis (25/7/2024). Permohonan ini terkait pengujian ketentuan persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengajukan provisi dengan memohon kepada Mahkamah menjadikan permohonannya sebagai perkara prioritas yang diperiksa untuk menjatuhkan putusan sebelum pelaksanaan pendaftaran calon pilkada pada 27 Agustus 2024.

“Setidaknya dapat diputus sebelum tanggal 27 Agustus 2024,” ujar Pemohon Prinsipal, A Fahrur Rozi, di hadapan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Mengecualikan Anwar Usman

Selain itu, Pemohon juga memohon Mahkamah agar menyatakan Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan permohonan ini. “Pemohon mengajukan hak ingkar terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman dan meminta dengan hormat agar Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan kesadaran diri mengundurkan diri atau tidak diikutsertakan dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan terhadap perkara a quo,” kata Fahrur Rozi.

Dia menjelaskan, Anwar Usman secara langsung atau tidak memiliki konflik kepentingan karena statusnya sebagai paman dari Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang disebut akan maju menjadi bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2024 mendatang. Fahrur Rozi (mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Pemohon lainnya Anthony Lee (mahasiswa Podomoro University) berpendapat, seharusnya ketentuan syarat minimal usia bagi calon kepala daerah dihitung atau diberlakukan sejak penetapan calon, bukan pelantikan.

KPU menerjemahkan persyaratan usia minimal tersebut terhitung sejak penetapan pasangan calon. Namun, Mahkamah Agung (MA) menilai dan menafsirkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak menentukan titik penghitungan pada tahapan apa syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon kepala daerah harus diberlakukan. Sehingga, dalam amar putusannya, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Kepala daerah terkait persyaratan usia minimal kepala daerah dimaksud terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon agar Pasal 7 ayat (2) huruf e dimaknai menjadi, “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terhitung sejak penetapan pasangan calon.”

Baca juga: Jelang Pilkada Serentak 2024, Ketentuan Persyaratan Calon Kepala Daerah Diuji

Syarat Jadi Wakil Kepala Daerah

Sementara itu, Perkara Nomor 71/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan mantan Gubernur Kepulauan Riau Isdianto mempersoalkan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada terkait ketentuan mengenai syarat menjadi wakil kepala daerah belum pernah menjabat sebagai kepala daerah di wilayah yang sama. Pemohon menyebut akan mengalami kerugian konstitusional karena berpotensi tidak dapat maju menjadi wakil kepala daerah akibat berlakunya ketentuan syarat belum pernah menjabat sebagai gubernur.

Namun, Pemohon menyatakan tidak dapat dikategorikan pernah menjabat karena total durasi untuk periode sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur dan gubernur definitif adalah satu tahun tujuh bulan atau 19 bulan, sehingga tidak termasuk satu periode masa jabatan lima tahun. Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf o dimaknai “belum pernah menjabat satu periode masa jabatan sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur untuk waktu jabatan kurang dari 2,5 (dua setengah) tahun.”

Syarat Pendidikan Kepala Daerah

Kemudian, Perkara Nomor 72/PUU-XXII/2024 dimohonkan warga Tangerang bernama Zulferinanda. Dia mempersalahkan Pasal 7 ayat (2) huruf c, huruf e, dan huruf n UU Pilkada yang berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;”

Menurut Pemohon, mensyaratkan tingkat pendidikan paling rendah SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau sederajat untuk calon kepala daerah bukan keputusan yang tepat di era modern sekarang ini. Sebab, ketentuan tersebut berpotensi akan kehilangan atau setidaknya akan berkurang haknya untuk memperoleh manfaat dari ilmpu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah agar menafsirkan Pasal 7 ayat (2) huruf c menjadi “berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat.” Kemudian, Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 7 ayat (2) huruf e menjadi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.” Lalu Mahkamah pun diminta menghapus frasa “selama 2 (dua) kali masa jabatan” pada bunyi ayat (2) huruf n sehingga menjadi “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”. (*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina