Mode Suara

Fincensius F. Mendrofa sebagai kuasa hukum Pemohon saat menjelaskan Pokok permohonannya pada sidang Pendahuluan uji materiil Undang-Undang tentang Panitya Urusan Piutang Negara, Kamis (26/09) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Kamis, 26 September 2024 | 06:27

Dibaca: 146

Pemegang Saham Bank Centris Internasional Uji UU Panitya Urusan Piutang Negara

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara terhadap Undang Undang Dasar Tahun 1945. Sidang ini digelar pada Kamis (26/09) pukul 08.30 WIB dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara Nomor 128/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Andri Tedjadharma yang juga sebagai Pemegang Saham Bank Centris Internasional. Pemohon berpendapat bahwa telah terjadi kriminalisasi atau tindakan kohersif oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), yang secara sepihak menetapkan Pemohon sebagai Penanggung Hutang atas Piutang Negara.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, penetapan ini didasarkan pada Surat Keputusan PUPN Cabang DKI Jakarta, terkait jumlah Piutang Negara atas nama Andri Tedjadharma/Bank Centris Internasional sebesar Rp897.678.101,21, ditambah biaya administrasi sebesar 1% atau 10% dari nilai penyerahan piutang, tergantung waktu pembayarannya. Penetapan ini juga mengacu pada Surat Menteri Keuangan RI, yang menyerahkan pengelolaan piutang kepada PUPN berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dalam laporan keuangan tahun 2002-2003.

 

Pemohon berpendapat bahwa penyerahan pengelolaan piutang tersebut cacat hukum, karena tidak memenuhi syarat kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Pemohon juga menyoroti kewenangan PUPN yang terlalu luas, seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3), yang menyatakan bahwa PUPN dapat “mengurus piutang-piutang negara tidak harus menunggu penyerahannya”. Kewenangan ini, menurut Pemohon, telah menyebabkan tindakan sewenang-wenang oleh PUPN, yang menetapkan besaran piutang dan penanggung hutang tanpa dasar hukum yang jelas. Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan penetapan sebagai Penanggung Hutang serta penyitaan harta miliknya tanpa melalui prosedur hukum yang semestinya (due process of law).

“Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional akibat dari kewenangan yang tidak terbatas yang dimiliki PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) khususnya frasa mengurus piutang negara dengan tidak usah menunggu penyerahannya apabila ada alasan cukup kuat. Bahwa piutang tersebut harus segera diurus. Artinya frasa ini PUPN mengesampingkan piutang negara yang besar menurut hukum,” ujar Fincensius F. Mendrofa sebagai kuasa hukum Pemohon.

Menurut Pemohon, penyitaan dilakukan terhadap harta benda yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian antara PT Bank Centris Internasional dan Bank Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Akta Notaris No. 75 dan No. 76 tanggal 17 Oktober 1997. Pemohon menegaskan bahwa sebagai Pemegang Saham PT Bank Centris Internasional, ia tidak terdaftar dalam program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) seperti yang tercantum dalam laporan BPK RI terhadap Pelaksanaan Tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tanggal 30 November 2006.

Pemohon juga menyatakan bahwa ia tidak pernah menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), atau memberikan jaminan pribadi kepada pihak manapun. Oleh karena itu, penetapan Pemohon sebagai Penanggung Hutang Negara dan penyitaan asetnya sangat bertentangan dengan fakta yang ada. Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan undang-undang yang diuji, karena hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak terpenuhi. Selain itu, hak Pemohon atas perlindungan terhadap harta benda miliknya dan keluarganya juga telah dilanggar.

Dalam provisi petitum, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan PUPN menghentikan dan menunda penyitaan serta pelelangan terhadap seluruh harta milik Pemohon dan istrinya. Pemohon juga memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN bertentangan dengan UUD 1945, serta memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk segera membentuk undang-undang baru tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang sesuai dengan UUD 1945. Lebih lanjut, Pemohon meminta agar seluruh tindakan PUPN, termasuk penetapan piutang negara, penyitaan, surat paksa, dan eksekusi lelang, dinyatakan tidak sah dan tidak dapat dilanjutkan setelah putusan ini dibacakan.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan Pemohon untuk  mengekstraksi dalil-dalil posita agar tidak terlalu panjang dan bertele-tele melainkan fokus pada dalil inkonstitusionalitas norma a quo.

“Jadi cukup menguraikan argumentasi hukum yang didukung oleh teori, doktrin atau yurisprudensi putusan pengadilan sehubungan substansi dari isu permohonan ini,” ujar Daniel.

Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan Pemohon untuk membaca PMK 2/2021 dengan cermat. Menurutnya, PMK berbeda antara PHPU dengan PUU, khususnya Pasal 10 ayat (2) dimana menjelaskan tentang struktur permohonan.

“Struktur permohonannya sudah oke tetapi isi dari struktur perlu diperbaiki. Terkait dengan opening statement lebih baik bisa dimasukkan dalam pokok permohonan. Karena tidak ada permohonan karena tidak ada struktur pendahuluan,” jelas Arsul.

Di akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo selaku Ketua Panel memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya Pemohon harus menyerahkan perbaikan permohonan pada Rabu, 9 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB. (*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan