Mode Suara

MK gelar sidang Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 Pengujian UU Administrasi Kependudukan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan Para Pemohon, Senin, (04/11/2024). Foto Humas/Ilham WM.

Senin, 04 November 2024 | 12:00

Dibaca: 246

Para Pemohon Perbaiki Permohonan Ingin Tidak Beragama Diakui dalam Adminduk

JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) mengenai biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP). Para Pemohon ingin kolom agama tersebut dapat diisi dengan “tidak beragama” dalam ketentuan tersebut.

“Karena tidak ada peraturan perundangan yaitu berupa undang-undang yang menetapkan agama-agama apa saja yang diakui negara maka seluruh frasa dalam peraturan perundangan “yang agamanya belum diakui sebagai agama” tidak memiliki dasar hukum dan kabur maknanya karena semua agama dan dan kepercayaan juga tidak beragama diakui dan berhak atas jaminan yang diberikan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” ujar kuasa hukum para Pemohon Teguh Sugiharto dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (14/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Para Pemohon yakni Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II) mengajukan permohonan mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk yang agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama dalam adminduk dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.

Para Pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan “tidak beragama”. Menurut Para Pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para Pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.

Selain itu, Pemohon I juga mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Pemohon I juga berkeinginan untuk menikah kembali tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.

Karena itu, selain UU Adminduk, Para Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam petitumnya, pada pokoknya para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan bebas untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan serta kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.

Para Pemohon pun memperbaiki petitumnya. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 22 UU 39/1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing atau tidak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu atau tidak beribadat dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 61 ayat (91) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006, Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 37 ayat 1 dan ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang diajukan para Pemohon dalam petitumnya.(*)

Penulis: Mimi Kartika

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas: Fauzan Febriyan