Mode Suara

MK gelar sidang pengujian Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diruang sidang pleno MK, Selasa (23/7/2024). Foto: Humas/Panji

Selasa, 23 Juli 2024 | 08:30

Dibaca: 1902

Negara Terlihat Mulai Mau Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Saat ini mulai terlihat negara mau melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan bagi setiap warga negara. Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra usai mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang keenam uji materiil UU Sisdiknas. Sidang Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Selasa (23/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

“Ada sekarang UKT sampai Rp50 juta per semester. Kita bisa bayangkan seberapa mungkin orang miskin dapat mencapai itu. Uang pengembangan institusi sampai mencapai Rp300 – Rp400 juta untuk perguruan tinggi. Jadi, permohonan ini untuk pendidikan dasar, tapi ini menjadi cara kita merefleksi ada yang salahkah dengan cara kita mengelola pendidikan ini?” sebut Saldi ketika mengajukan pertanyaan bagi Ahli dan Saksi Pemerintah.

Saldi menambahkan Majelis Hakim membutuhkan proyeksi angka-angka riil jika permohonan Pemohon untuk membebaskan biaya pendidikan dasar swasta. Karena pastinya angka 20 persen dari anggaran pendidikan sebagai diatur dalam Konstitusi tidak dapat memenuhi hal tersebut.

“Kalau semakin hari orang tua semakin cenderung mendorong ke swasta, apakah anggaran sebesar itu cukup untuk pendidikan dasar sembilan tahun? Dari tahun ke tahun ada proyeksi sekolah swasta yang tidak perlu digratiskan. Karena ada orangtua yang mau membayar dengan jumlah besar. Saya mungkin perlu diberikan angka-angka ini,” sebut Saldi

Untuk itu, Saldi meminta agar meminta Nisa Felicia yang merupakan Executive Director Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan sebagai Ahli Pemerintah memberikan gambaran mengenai anggaran pendidikan jika pendidikan dasar digratiskan baik untuk negeri maupun swasta menguraikan angka-angka pasti.

“Kami tidak tega menolak permohonan para Pemohon karena memang dalam Konstitusi sudah jelas angkanya (20 persen). Namun kalau dikabulkan, tapi tidak jelas angka-angkanya jadi masalah juga. Ini seperti (buah) simalakama betul. Tolong Ahli, kami (Majelis Hakim Konstitusi) dibantu soal-soal ini,” ucap Saldi.

Kualitas Pendidikan Swasta

Sebelumnya dalam persidangan tersebut, Nisa Felicia yang merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan hadir memberi keterangan sebagai Ahli Pemerintah. Nisa menyampaikan perlu adanya kebijakan asimetris dan melibatkan penyelenggara pendidikan swasta dalam mengatasi permasalahan daya tampung di Indonesia dengan mempertimbangkan kategori sifat akses pendidikan di setiap daerah. Menurutnya, pembebasan pemungutan biaya Pendidikan swasta bukan satu-satunya opsi kebijakan, tetapi ada pilihan lain yang tepat sasaran dan efisien.

“Pendidikan negeri dan swasta bebas biaya perlu dilakukan dengan menggunakan pertimbangan dan perhitungan kesesuaian dengan tipologi akses pendidikan, kualitas sekolah swasta dan kesanggupan daerah,” jelasnya.

Kemudian, Nisa menjelaskan rentang kualitas sekolah swasta itu sangat lebar dan banyak kualitas swasta yang di bawah kualitas pendidikan negeri. Sehingga apabila pemerintah ingin melibatkan swasta dalam pemenuhan hak anak terhadap pendidikan dasar, maka kualitas pun harus diperhatikan.

“Harus dipilih kualitas swasta yang seperti apa yang dilibatkan. Hal ini tidak mudah, Yang Mulia. Pengalaman kami di DKI Jakarta, kami menggunakan indeks untuk menentukan sekolah swasta mana yang dapat dilibatkan dalam PPDB bersama disebutnya karena PPDB ini juga untuk swasta dengan mempertimbangkan hasil belajar, komposisi guru, akreditasi,” sebut Nisa.

Nisa pun menambahkan dengan memperhitungkan kualitas, maka baru dapat mengidentifikasi sekolah swasta yang sebenarnya layak untuk mendapatkan dukungan pemerintah dan untuk dianggap “setara”dengan sekolah negeri.

Hanya Kelola 15 Persen

Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek Vivi Andriani selaku saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah menyebut  Kemendikbudristek hanya mengelola anggaran pendidikan sebesar 15 persen atau setara dengan Rp98,9 triliun dari anggaran pendidikan tahun 2024 yang berjumlah sebesar Rp665 triliun.

“Anggaran Pendidikan pada Belanja Non-Kementerian Negara/Lembaga sebesar Rp47 triliun dan anggaran pembiayaan Rp77 triliun merupakan sepenuhnya kewenangan Kementerian Keuangan. Termasuk dalam pengeluaran pembiayaan Rp77 triliun adalah anggaran penambahan Dana Abadi Pendidikan yang dikelola LPDP sebesar Rp25 triliun termasuk untuk Dana Abadi Pesantren,” urai Vivi menanggapi Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Vivi menambahkan Pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga pemenuhan pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat UUD 1945. Ia menyebut anggaran pendidikan tahun 2024 sebesar RP665,02 triliun. Dari besaran tersebut anggaran yang diperkirakan digunakan untuk penyelenggaraan layanan pendidikan di SD dan SMP swasta serta negeri perkiraan sebesar Rp236,1 triliun rupiah. Penghitungan tersebut mencakup pembayaran gaji dan tunjangan pendidik serta biaya operasional untuk penyelenggaraan pendidikan sebesar Rp227 triliun. Kemudian juga terdapat pendanaan untuk sarana dan prasarana pendidikan untuk rehabilitasi yang rusak kemudian juga penambahan ruang baru untuk SD dan SMP baik negeri maupun swasta besarnya mencakup Rp9,07 triliun.

“Sesuai PP Nomor 17 Tahun 2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (MenPPN) dan Menteri Keuangan (Menkeu) merupakan menteri-menteri yang memiliki kewenangan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Sedangkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran Pendidikan di luar pengajuan anggaran Pendidikan di luar pengajuan Kemendikbudristek,” paparnya.

Baca juga:

JPPI Minta Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Bebas Biaya
JPPI Tambahkan Perbandingan Sekolah Dasar Swasta Gratis dari Berbagai Negara
DPR: Negara Tetap Butuh Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Pemerintah: Biaya Pendidikan Dasar Sudah Sesuai UUD 1945

Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Sebelumnya, para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.

Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.(*)

Penulis: Utami Argawati/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha