Mode Suara

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Laksanto Utomo selaku pemohon prinsipal menghadiri sidang perdana uji Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Senin (22/07) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Senin, 22 Juli 2024 | 04:56

Dibaca: 811

Menyoal Masyarakat Hukum Adat yang Termarjinalkan dalam Hukum Indonesia

JAKARTA, HUMAS MKRI – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) yang diwakili oleh Laksanto Utomo (Ketua Umum) dan Rina Yulianti (Sekretaris Jenderal) menguji materiil Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). Sidang perdana Perkara Nomor 67/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini, digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (22/7/2024).

Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyatakan, “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial. Ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”

Aditya Ramadhan Harahap selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyebutkan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebab dalam urusan pemerintahan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih sebatas formalitas saja. Mereka hanya dijadikan sebagai objek peraturan, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjadi subjek dari suatu peraturan. Bahkan masyarakat hukum adat termarjinalkan dalam proses pembangunan, utamanya terkait keberadaan tanah adat atau ulayat milih masyarakat adat tersebut. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan masyarakat adat diakui Pemohon terdapat benturan antara hukum adat dan hukum nasional Indonesia.

“Apabila dikaji melalui pendekatan perbandingan negara, urusan pemerintahan yang berkaitan dnegan masyarakat adat di beberapa negara telah terlembaga melalui kementerian khusus yang menangani permasalahan masyarakat hukum adat. Sehingga, dengan adanya kementerian khusus ini dapat kemudian menampung aspirasi dan keluhan dari masyarakat adat yang memiliki keterbatasan dalam akses untuk bersuara secara langsung ke pemerintah pusat,” urai Viktor Santoso Tandiasa (kuasa hukum Pemohon) kepada Majelis Hakim Konstitusi.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”

Kerugian Konstitusional

Hakim Konstitusi Enny dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon ini perlu dikaitkan dengan keberadaan norma, sehingga belum diuraikan dengan jelas dan rinci. Selain itu, Pemohon juga harus menyertakan maksud dari keinginan adanya kementerian khusus masyarakat hukum adat dari 8 negara yang diuraikan pada permohonannya.

“Apakah ini masyarakat adat ini masuk pada konsep dan kategori indigenous people pada 8 negara yang memiliki kementerian negara yang mengurus urusan-urusan masyarakatnya,” saran Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Arsul dalam nasihatnya menyebutkan Pemohon perlu menjelaskan hak konstitusional yang terdiskriminasi dan dialami masyarakat hukum adat, sehingga muncul ketidakadilan.

Kemudian Wakil Ketua MK Saldi perlu menjelaskan tentang sejarah pengelompokan masyarakat di Indonesia dengan keberadaan indigenous people pada delapan negara yang memiliki kementerian khususnya.

“Apakah yang diaturkan itu masyarakat hukum adat tersebut sebagai subjek atau objek? Jadi jelaskan dalam sebuah rumusan yang terkait dengan pasal-pasal yang ada,” jelas Saldi.

Pada akhir persidangan, Saldi mengatakan terhadap permohonan ini Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonan. Sehingga naskah perbaikan Pemohon tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 5 Agustus 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan