Mode Suara
Rabu, 09 Oktober 2024 | 08:31
Dilihat : 292JAKARTA, HUMAS MKRI – Marthen Y. Siwabessy mengajukan pengujian Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/10/2024). Anggie Tanjung selaku kuasa hukum menyebutkan Pemohon mempersoalkan tentang frasa “perbuatan tercela” yang termaktub pada Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Menurut Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 ini, frasa tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena ia tidak dapat menggunakan hak konstitusional untuk memberikan penilaian secara objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden akibat tidak adanya kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas dari frasa perbuatan tercela yang terdapat di dalam pasal tersebut. Terkait hal ini, Pemohon berpendapat kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada batasan, termasuk pula pada pemaknaan frasa “perbuatan tercela” harus memiliki kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas.
Pemohon berpendapat dengan adanya batasan yang tegas terhadap frasa “perbuatan tercela” tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden akan mengerti dan mampu memahami segala perilaku dan pernyataan-pernyataan yang dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan tercela menurut konstitusi. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara serta pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara dapat terselenggara dengan lebih baik.
Jika Presiden dan/atau Wakil Presiden telah memahami makna “perbuatan tercela” sesuai dengan batasan yang telah diberikan melalui penafsiran konstitusional, maka kedepannya Pemohon akan mudah memberikan penilaian yang objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemohon berpendapat carut-marut penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang terjadi belakangan ini, salah satunya disebabkan karena adanya kekosongan penafsiran konstitusional terhadap frasa “perbuatan tercela” yang terdapat di dalam konstitusi negara. Kekosongan tersebut mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden cukup hanya menjaga perilaku dan perbuatannya agar tidak melanggar lima dari enam alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang terdapat di dalam konstitusi.
“Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan penafsiran secara gramatikal, historikal, sosiologis, sistematis, harafiah, dan autentik terhadap frasa ‘perbuatan tercela’ sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah juga dimintakan agar menyatakan putusan permohonan ini menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan frasa ‘perbuatan tercela’ sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ucap Anggie membacakan Petitum Pemohon pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai hakim anggota Majelis Sidang Panel.
Kewenangan MK
Hakim Konstitusi Arsul Sani saat memberikan nasihat Majelis Sidang Panel menyatakan substansi permohonan yag diajukan berupa pemaknaan pasal yang ada dalam UUD 1945. “Ini apakah MK punya kewenangan untuk menyelesaikan perkara ini? Di sana disebutkan kewenangan untuk mengujikan undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, ada memang tambahan melakukan uji formil proses pembentukan Perppu, maka lihat serta pertimbangkan lagi apakah MK punya kewenangan untuk memberikan pemaknaan terhadap pasal atau bagian dari pasal yang ada di dalam UUD 1945 atau ini seharusnya kewenangan MPR,” jelas Arsul.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur melalui catatan nasihat Majelis Sidang Panel ini mengatakan kepada Pemohon untuk mencantumkan dengan lengkap ketentuan identitas sesuai aturan dari PMK terbaru. Selanjutnya Pemohon juga harus menyesuaikan kedudukan hukum dan dalil permohonan dengan struktur atau sistematika dari permohonan yang lazim diajukan ke MK. “Saudara juga belum menjelaskan secara spesifik kerugian yang dialami dari keberlakuan pasal a quo, jadi elaborasi lebih luas dengan menghubungkan kausal verbal-nya dengan potensi kerugian yang dialami Pemohon,” jelas Ridwan.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Sehingga selambat-lambatnya dapat diserahkan pada Rabu, 22 Oktober 2024 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 Marthen Y. Siwabessy didampingi Kuasa Hukumnya Anggie Tanjung saat menghadiri Sidang Pendahuluan di Ruang Sidang Panel lantai 4 Gedung MK 1, Rabu (9/10). Foto Humas MK/Teguh
Rabu, 09 Oktober 2024 | 08:31
Dibaca: 292
JAKARTA, HUMAS MKRI – Marthen Y. Siwabessy mengajukan pengujian Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/10/2024). Anggie Tanjung selaku kuasa hukum menyebutkan Pemohon mempersoalkan tentang frasa “perbuatan tercela” yang termaktub pada Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Menurut Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 ini, frasa tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena ia tidak dapat menggunakan hak konstitusional untuk memberikan penilaian secara objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden akibat tidak adanya kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas dari frasa perbuatan tercela yang terdapat di dalam pasal tersebut. Terkait hal ini, Pemohon berpendapat kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada batasan, termasuk pula pada pemaknaan frasa “perbuatan tercela” harus memiliki kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas.
Pemohon berpendapat dengan adanya batasan yang tegas terhadap frasa “perbuatan tercela” tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden akan mengerti dan mampu memahami segala perilaku dan pernyataan-pernyataan yang dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan tercela menurut konstitusi. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara serta pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara dapat terselenggara dengan lebih baik.
Jika Presiden dan/atau Wakil Presiden telah memahami makna “perbuatan tercela” sesuai dengan batasan yang telah diberikan melalui penafsiran konstitusional, maka kedepannya Pemohon akan mudah memberikan penilaian yang objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemohon berpendapat carut-marut penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang terjadi belakangan ini, salah satunya disebabkan karena adanya kekosongan penafsiran konstitusional terhadap frasa “perbuatan tercela” yang terdapat di dalam konstitusi negara. Kekosongan tersebut mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden cukup hanya menjaga perilaku dan perbuatannya agar tidak melanggar lima dari enam alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang terdapat di dalam konstitusi.
“Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan penafsiran secara gramatikal, historikal, sosiologis, sistematis, harafiah, dan autentik terhadap frasa ‘perbuatan tercela’ sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah juga dimintakan agar menyatakan putusan permohonan ini menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan frasa ‘perbuatan tercela’ sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ucap Anggie membacakan Petitum Pemohon pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai hakim anggota Majelis Sidang Panel.
Kewenangan MK
Hakim Konstitusi Arsul Sani saat memberikan nasihat Majelis Sidang Panel menyatakan substansi permohonan yag diajukan berupa pemaknaan pasal yang ada dalam UUD 1945. “Ini apakah MK punya kewenangan untuk menyelesaikan perkara ini? Di sana disebutkan kewenangan untuk mengujikan undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, ada memang tambahan melakukan uji formil proses pembentukan Perppu, maka lihat serta pertimbangkan lagi apakah MK punya kewenangan untuk memberikan pemaknaan terhadap pasal atau bagian dari pasal yang ada di dalam UUD 1945 atau ini seharusnya kewenangan MPR,” jelas Arsul.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur melalui catatan nasihat Majelis Sidang Panel ini mengatakan kepada Pemohon untuk mencantumkan dengan lengkap ketentuan identitas sesuai aturan dari PMK terbaru. Selanjutnya Pemohon juga harus menyesuaikan kedudukan hukum dan dalil permohonan dengan struktur atau sistematika dari permohonan yang lazim diajukan ke MK. “Saudara juga belum menjelaskan secara spesifik kerugian yang dialami dari keberlakuan pasal a quo, jadi elaborasi lebih luas dengan menghubungkan kausal verbal-nya dengan potensi kerugian yang dialami Pemohon,” jelas Ridwan.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Sehingga selambat-lambatnya dapat diserahkan pada Rabu, 22 Oktober 2024 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan