Mode Suara
Selasa, 15 Oktober 2024 | 08:35
Dilihat : 459JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sidang ini digelar pada Selasa (15/10/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan dengan nomor perkara 143/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Muhammad Amir Rahayaan, Hamka Arsad Refra, Harso Ohoiwer dan Hasanudin Raharusun.
Para Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum dalam persidangan menyatakan dengan adanya Pasal 218 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang sebagaimana berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Pasal 218 ayat (2) KUHP menyatakan, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”. Selanjutnya pada Pasal 219 KUHP menyatakan, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebar luaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan atau wakil Presiden dengan maksud agar isisnya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak dengan kategoti IV”.
“Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU karena pada Pasal ini menguraikan tentang penghianaan harkat dan martabat terhapdap Presiden atau Wakil Presiden. Sebagaimana diatur pada Pasal 218 ayat (1). Menurut pemohon pasal ini menggunakan pendekatan Lese Majeste atau Lese Maesty, istilah ini digunakan untuk sebuah tindakan atau kejahatan yang mengarah pada kurangnya rasa hormat atau minimnya penghormatan terhadap raja atau ratu maupun penguasa dalam suatu sistem ketatanegaraan berbentuk monarki (kerajaan). Penghinaan harkat dan martabaat diri Presiden atau Wakil Presiden sangat tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan yang berbasis Republik dengan sistem demokrasi, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden tidak dimaknai sebagai symbol negara, kendati, senada dengan Pasal 36A UUD NRI Tahun 1945,” ujar Hamka Arsad Refra selaku Pemohon II.
Hamka menerangkan, Pasal 218 KUHP yang menerangkan tentang penghinanaan atau menyerang kehormatan harkat dan mertabat diri Presiden atau Wakil Presiden tidak tepat menggunakan alasan primus interpares atau pertama dari yang sedarajat sebagi simbol penghormatan terhadap jabatan presiden dan wakil presiden. Penerapan prinsip primus interpares dalam diri seorang pemimpin negara. Inilah hak presiden atau wakil presiden yang seharusnya didapat sebagai orang yang pertama dari yang sederajat, yaitu hak-hak perlindungan, selain perlindungan jabatan presiden.
Sehingga menurut Pemohon, adanya kekeliruan dalam mekanisme pengaturan pasal, karena maksud dari pertama dari yang sedarajat ini adalah hak-hak Presiden dalam menunjang kinerjanya. Misalnya, hak Presiden untuk mendapatkan pengawalan dan hak special kenegaraan lainya yaitu, memberikan grasi, rehabilitas, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 Adanya Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023. Untuk itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan pada pasal 218 ayat (1) dan (2) serta Pasal 219 bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Merespons permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar para Pemohon terlebih dahulu membaca Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, Daniel juga meminta agar mereka melihat contoh-contoh permohonan yang pernah dikabulkan oleh MK, sistematika dalam permohonan tersebut telah diatur dengan baik. "Contoh-contoh tersebut nantinya dapat dibandingkan dengan permohonan yang diajukan saat ini," jelas Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan para Pemohon untuk mempelajari putusan MK Nomor 7 Tahun 2023. Dalam putusan tersebut, menurut Guntur, MK menyatakan permohonan serupa tidak dapat diterima karena dianggap prematur.
"Pasal 218 dari UU 1/2023 yang diajukan ini sudah pernah diuji dan MK menyatakan bahwa KUHP yang diujikan baru akan berlaku pada tahun 2026, sehingga pengujiannya saat ini masih dianggap prematur. Saya sarankan agar saudara berempat berdiskusi lebih lanjut, karena permohonan ini bisa bernasib sama," tegas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengimbau para Pemohon untuk kembali berdiskusi, mempelajari putusan-putusan MK sebelumnya, serta memperhatikan format, narasi, dan penyusunan naskah perundang-undangan agar lebih baik dalam penyusunan permohonan yang diajukan. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk para Pemohon untuk memperbaiki permohonanannya. Permohonan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 28 Oktober 2024. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Pemohon nomor perkara 143/PUU-XXII/2024 pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Selasa (15/10/2024). Foto Humas/Bayu
Selasa, 15 Oktober 2024 | 08:35
Dibaca: 459
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sidang ini digelar pada Selasa (15/10/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan dengan nomor perkara 143/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Muhammad Amir Rahayaan, Hamka Arsad Refra, Harso Ohoiwer dan Hasanudin Raharusun.
Para Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum dalam persidangan menyatakan dengan adanya Pasal 218 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang sebagaimana berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Pasal 218 ayat (2) KUHP menyatakan, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”. Selanjutnya pada Pasal 219 KUHP menyatakan, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebar luaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan atau wakil Presiden dengan maksud agar isisnya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak dengan kategoti IV”.
“Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU karena pada Pasal ini menguraikan tentang penghianaan harkat dan martabat terhapdap Presiden atau Wakil Presiden. Sebagaimana diatur pada Pasal 218 ayat (1). Menurut pemohon pasal ini menggunakan pendekatan Lese Majeste atau Lese Maesty, istilah ini digunakan untuk sebuah tindakan atau kejahatan yang mengarah pada kurangnya rasa hormat atau minimnya penghormatan terhadap raja atau ratu maupun penguasa dalam suatu sistem ketatanegaraan berbentuk monarki (kerajaan). Penghinaan harkat dan martabaat diri Presiden atau Wakil Presiden sangat tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan yang berbasis Republik dengan sistem demokrasi, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden tidak dimaknai sebagai symbol negara, kendati, senada dengan Pasal 36A UUD NRI Tahun 1945,” ujar Hamka Arsad Refra selaku Pemohon II.
Hamka menerangkan, Pasal 218 KUHP yang menerangkan tentang penghinanaan atau menyerang kehormatan harkat dan mertabat diri Presiden atau Wakil Presiden tidak tepat menggunakan alasan primus interpares atau pertama dari yang sedarajat sebagi simbol penghormatan terhadap jabatan presiden dan wakil presiden. Penerapan prinsip primus interpares dalam diri seorang pemimpin negara. Inilah hak presiden atau wakil presiden yang seharusnya didapat sebagai orang yang pertama dari yang sederajat, yaitu hak-hak perlindungan, selain perlindungan jabatan presiden.
Sehingga menurut Pemohon, adanya kekeliruan dalam mekanisme pengaturan pasal, karena maksud dari pertama dari yang sedarajat ini adalah hak-hak Presiden dalam menunjang kinerjanya. Misalnya, hak Presiden untuk mendapatkan pengawalan dan hak special kenegaraan lainya yaitu, memberikan grasi, rehabilitas, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 Adanya Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023. Untuk itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan pada pasal 218 ayat (1) dan (2) serta Pasal 219 bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Merespons permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar para Pemohon terlebih dahulu membaca Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, Daniel juga meminta agar mereka melihat contoh-contoh permohonan yang pernah dikabulkan oleh MK, sistematika dalam permohonan tersebut telah diatur dengan baik. "Contoh-contoh tersebut nantinya dapat dibandingkan dengan permohonan yang diajukan saat ini," jelas Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan para Pemohon untuk mempelajari putusan MK Nomor 7 Tahun 2023. Dalam putusan tersebut, menurut Guntur, MK menyatakan permohonan serupa tidak dapat diterima karena dianggap prematur.
"Pasal 218 dari UU 1/2023 yang diajukan ini sudah pernah diuji dan MK menyatakan bahwa KUHP yang diujikan baru akan berlaku pada tahun 2026, sehingga pengujiannya saat ini masih dianggap prematur. Saya sarankan agar saudara berempat berdiskusi lebih lanjut, karena permohonan ini bisa bernasib sama," tegas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengimbau para Pemohon untuk kembali berdiskusi, mempelajari putusan-putusan MK sebelumnya, serta memperhatikan format, narasi, dan penyusunan naskah perundang-undangan agar lebih baik dalam penyusunan permohonan yang diajukan. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk para Pemohon untuk memperbaiki permohonanannya. Permohonan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 28 Oktober 2024. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan