Mode Suara

Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 415 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Rabu (24/7/2024). Foto Humas/Bayu

Rabu, 24 Juli 2024 | 09:03

Dibaca: 1417

Dampak Metode Sainte Lague Penghitungan Perolehan Kursi Legislatif

JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 415 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar menyatakan Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pemilihan umum calon legislatif (caleg) 2024.

Menurut Pemohon, kedaulatan rakyat mestinya diwujudkan melalui sarana pemilihan umum yang menggunakan sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, anggota legislatif DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih ditentukan berdasarkan suara atau dukungan rakyat paling banyak sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945, bukan berdasarkan suara partai dibagi dengan bilangan ganjil 1;3;5;7; dan seterusnya (sainte lague).

Perhitungan sainte lague dapat berakibat partai peserta pemilu kehilangan jatah kursinya karena pada tahap kedua suaranya dibagi dengan bilangan 3 sehingga suara pemilih menjadi hangus. Perhitungan tersebut tidak dapat memberikan adanya suatu kepastian terhadap para peserta pemilu sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945.

“Karena ada nama-nama caleg yang terpilih DPRD Kota Tegal Dapil Kota Tegal 1 dengan perolehan suara di bawah perolehan suara Pemohon. Dengan demikian penetapan calon terpilih harusnya berdasarkan suara terbanyak (majority principle) sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip keadilan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Sonhaji Akbar dalam sidang panel dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (24/7/2024) di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta.

Sidang panel ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan permohonan ini akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam RPH tersebut, para hakim akan membahas perkara ini dan menentukan apakah perkara ini berlanjut atau tidak.

 

Baca juga:

Gagal Jadi Anggota DPRD, Caleg Uji Metode Penghitungan Perolehan Kursi

 

Sebagai informasi, caleg DPRD Kota Tegal pada Pemilu Tahun 2024 bernama Abdul Basir mempersoalkan ketentuan penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam UU Pemilu. Abdul Basir memperoleh 2.186 suara sah pada daerah pemilihan (dapil) Kota Tegal 1 dan menduduki peringkat dua di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, PKB hanya mendapatkan satu kursi sebagaimana penghitungan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu dari sembilan kursi anggota DPRD Kota Tegal dapil 1 yang tersedia.

Karena itu, Pemohon yang berada di urutan kedua tidak berhasil memperoleh kursi anggota dewan. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak lolos menjadi caleg terpilih. Sedangkan, beberapa caleg di partai lain yang memperoleh suara sah di bawah perolehan suara Pemohon tetapi lolos menduduki kursi DPRD Kota Tegal sebagaimana penghitungan perolehan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3).

“Menurut kami serasanya tidak fair bagi kami karena Pemohon Doktor Abduk Basir memiliki suara yang lebih tinggi,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Sonhaji Akbar dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta pada Kamis (11/7/2024) lalu.

Selengkapnya, Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu berbunyi, “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.” Pemohon mengatakan, pasal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mestinya diwujudkan melalui sarana pemilihan umum yang menggunakan sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan ditentukan berdasarkan suara partai dibagi dengan bilangan ganjil 1, 5, 7, 9, dan seterusnya atau dikenal dengan metode sainte lague.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: N. Rosi

Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.