Mode Suara

Kuasa hukum pemohon saat sidang pengucapan Putusan Nomor 127/PUU-XXI/2023, Jumat (29/11/2024). Foto Humas/Bayu

Jumat, 29 November 2024 | 08:15

Dibaca: 275

Beda Tantangan Pekerja Migran Berbasis Laut dengan Darat

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja). Permohonan ini diajukan Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).

Sidang pengucapan Putusan Nomor 127/PUU-XXI/2023 dilaksanakan pada Jumat (29/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan delapan hakim konstitusi. Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan para Pemohon mempersoalkan adanya sistem pelayanan terpadu menimbulkan keruwetan dalam pengurusan izin bekerja. Setelah Mahkamah mencermati secara saksama, UU PPMI dibentuk salah satunya karena hendak menerapkan pendekatan pelindungan kelembagaan dengan menghilangkan adanya dualisme. Oleh karena itu, diperlukan adanya sistem pelayanan terpadu yang bertujuan untuk mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, in casu terkait dengan persyaratan untuk dapat menjadi pelaut (awak kapal), di mana berbagai bentuk pelayanan tersebut tidak lagi dilakukan secara parsial tetapi dengan sistem pelayanan terpadu. Untuk menegaskan tujuan dimaksud, UU PPMI mendasarkan penyelenggaraan pelayanannya pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU 25/2009).

“Berdasarkan penjelasan umum tersebut di atas, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (PP 96/2012), disebutkan bahwa sistem pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan proses pengelolaan pelayanan terhadap beberapa jenis pelayanan yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat baik secara fisik maupun virtual sesuai dengan standar pelayanan. Artinya, sistem pelayanan terpadu secara fisik dapat dilaksanakan melalui: a) sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan/atau b) sistem pelayanan terpadu satu atap (vide Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) PP 96/2012],” terang Arief.

Oleh karena itu, Arief melanjutkan, dalil para Pemohon yang mempersoalkan sistem pelayanan terpadu sebagai keruwetan dalam pengurusan izin bekerja merupakan dalil yang tidak berdasar. Sebaliknya, dalam konteks pelayanan perizinan bagi pekerja migran, in casu pelaut awak kapal, sistem pelayanan terpadu tersebut justru dimaksudkan untuk mempermudah dalam upaya memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil dan lebih baik bagi pekerja migran, termasuk pelaut (awak kapal) dalam pengurusan dokumen yang diperlukan.

 

Kategori Pekerja Migran

Setelah Mahkamah mencermati secara saksama ketentuan dalam UU PPMI, memang tidak mengkategorikan pekerja migran berbasis darat (migrant workers land-based) dan pekerja migran berbasis laut (migrant workers sea-based) sebagaimana dalil para Pemohon. Meskipun pengaturan dalam UU PPMI mengelompokkan seluruh pekerja migran dalam satu kategori umum, Mahkamah memahami bahwa pekerja migran berbasis laut memiliki kondisi kerja dan tantangan yang sangat berbeda dibandingkan dengan pekerja migran berbasis darat.

Pekerja migran berbasis laut, seperti pelaut awak kapal dan pelaut perikanan, sering kali bekerja di atas kapal yang berlayar melewati wilayah perairan internasional dengan kondisi fisik, psikologis, dan sosial yang lebih kompleks. Pelaut juga menghadapi risiko yang lebih tinggi terkait keselamatan pelayaran, peraturan internasional yang lebih ketat, serta perbedaan dalam ketentuan pelindungan hukum yang mengatur dunia kelautan. Dalam konteks ini, MLC 2006 yang telah diratifikasi melalui UU 15/2016 telah memberikan pengakuan terhadap hak-hak pekerja pelaut, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU 15/2016.

Namun dalam praktiknya, meskipun MLC 2006 yang telah diratifikasi melalui UU 15/2016 telah memberikan pengakuan terhadap hak-hak pekerja pelaut, tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran laut sering kali jauh lebih berat. Selain itu, pekerja migran laut, yang beroperasi di bawah hukum internasional, menghadapi berbagai regulasi yang sangat berbeda dan bisa jadi lebih rumit. Dalam hal terdapat keinginan untuk memisahkan pengaturan mengenai pekerja migran berbasis darat dan pekerja migran berbasis laut sebagaimana dalil para Pemohon, maka sangat penting untuk memastikan adanya pelindungan yang komprehensif terhadap hak-hak pelaut sebagai salah satu kelompok pekerja migran. Pemisahan pengaturan ini dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sepanjang hal tersebut harus didasarkan pada tujuan untuk memberikan pelindungan yang komprehensif bagi pelaut, baik dalam aspek hukum, keselamatan kerja, maupun kesejahteraan.

Sehingga, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah ketentuan dalam UU PPMI yang tidak secara eksplisit memisahkan pengaturan pekerja migran berbasis laut dan darat, tidak dengan sendirinya menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan pelindungan kepada semua pekerja migran, termasuk pelaut. Sebab, UU PPMI dibentuk dengan maksud untuk memberikan kepastian pelindungan bagi pekerja migran, termasuk pelaut yang memiliki karakter khusus.

Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI yang tidak mengatur kategori Pekerja Migran Indonesia ke dalam dua jenis, yakni pekerja migran berbasis darat dan laut adalah tidak beralasan menurut hukum.


Baca juga:

Pelaut Awak Kapal Perikanan Masuk Pekerja Migran, AP2I dan Agen ABK Keberatan

Visa Kerja Bebani Pelaut Indonesia

UU PPMI Lindungi Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan dari Perdagangan Manusia

Ahli Pemohon: Pelaut Bukan Pekerja Migran

Saksi Pemerintah Ungkap Manfaat UU PPMI bagi Pelaut Awak Kapal Perikanan


 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: N Rosi.

Humas: Tiara Agustina.