Mode Suara

Nien Rafles Siregar Sekretaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia usai memberikan keterangannya selaku Pihak Terkait pada sidang uji Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Senin (02/12) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Senin, 02 Desember 2024 | 09:04

Dibaca: 156

Asosiasi Kurator Bantah Pelanggaran Hak Konstitusional dalam UU Kepailitan

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) pada Senin (2/12/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 kali ini yakni mendengar keterangan Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI), Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKPI), dan Mahkamah Agung.

Dalam persidangan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Nien Rafles Siregar selaku Pihak Terkait dalam perkara ini menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hak konstitusional para Pemohon dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan. Menurutnya, pasal-pasal tersebut sejalan dengan tujuan khusus UU Kepailitan dan justru bertujuan melindungi kepentingan kreditur maupun debitur.

Nien menyoroti bahwa dugaan tindakan sewenang-wenang dan ketidakprofesionalan kurator, yang menjadi inti permasalahan gugatan, telah memiliki mekanisme penyelesaian dalam UU Kepailitan. Pemohon dapat meminta hakim pengawas untuk memerintahkan kurator bertindak sesuai aturan, meminta pertanggungjawaban kurator secara perdata atau pidana, atau melaporkan kurator ke Dewan Kehormatan organisasi profesinya.

"Ketentuan dalam UU Kepailitan tidak merugikan hak konstitusional para pemohon. Permasalahan yang diangkat lebih kepada dugaan tindakan tidak profesional kurator, yang telah diatur penyelesaiannya dalam UU Kepailitan," tegas Nien.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal HKPI Agus Dwiwarsono memberikan keterangan terkait limitasi waktu dalam proses pemberesan kepailitan. Ia menjelaskan bahwa aturan mengenai pengurusan perkara kepailitan sebenarnya sudah diatur secara implisit dalam Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang membatasi kurator hanya boleh menangani maksimal tiga perkara sekaligus.

"Apa yang didalilkan Para Pemohon sebenarnya telah memiliki penyelesaiannya. Kerugian yang mereka sampaikan lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap proses kepailitan," ungkap Agus.

Agus menegaskan bahwa UU Kepailitan dan PKPU telah memberikan mekanisme bagi kreditor untuk mempertahankan hak mereka. Sayangnya, menurutnya, para pemohon tidak memanfaatkan hak-hak tersebut selama proses kepailitan berlangsung.

Ia juga mengingatkan bahwa pemaknaan pasal-pasal yang diajukan Pemohon tidak hanya akan berdampak pada kasus mereka tetapi juga pada seluruh perkara kepailitan di masa depan. Hal ini, menurut Agus, berpotensi memperumit dan memperpanjang proses pemberesan harta pailit.

"Ketentuan waktu yang diminta Para Pemohon tidak realistis dan justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta kekosongan hukum," tambahnya.

 

Hambatan dalam Proses Kepailitan

Agus menjelaskan bahwa kurator sering kali menghadapi berbagai hambatan dalam tugasnya, termasuk sengketa hukum antara pihak-pihak terkait. Hambatan ini, menurutnya, merupakan faktor eksternal di luar kendali kurator, meskipun kurator telah melakukan upaya maksimal. Ia mencontohkan bahwa beberapa perkara kepailitan bisa memakan waktu lebih dari dua tahun karena kompleksitas kasus yang tinggi.

"Lamanya proses pemberesan kepailitan tidak semata-mata disebabkan oleh kelalaian kurator, tetapi juga karena berbagai kendala hukum dan faktual yang memang membutuhkan waktu untuk diselesaikan," jelasnya.

Agus menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 74 Ayat (1), Pasal 74 Ayat (3), dan Pasal 185 Ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ia menyebut bahwa pengaturan mengenai batas waktu adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

 

Pembatasan Waktu

Sekretaris Jenderal IKAPI R. Primaditya Wirasandi menyampaikan pandangannya mengenai pembatasan waktu tiga tahun dalam pengurusan dan pemberesan boedel pailit. Ia menilai bahwa meskipun prinsip “lebih cepat lebih baik” menjadi harapan bersama, pembatasan waktu tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif yang sulit diukur secara pasti.

"Keinginan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum justru bisa menimbulkan masalah baru jika pembatasan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan berbagai faktor pendukung," ujar Primaditya.

Primaditya menjelaskan bahwa dalam praktik, pembatasan waktu tiga tahun sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti keterlibatan institusi lain, kompleksitas persoalan hukum, serta kondisi perekonomian dan pasar. Hal ini membuat pelaksanaan pembatasan waktu sulit diukur secara seragam.

Ia juga menyoroti bahwa norma tentang dampak jika kurator gagal menyelesaikan pemberesan dalam waktu tiga tahun belum sepenuhnya terbayangkan. “Dalam kenyataannya, proses ini sangat dinamis dan tergantung pada banyak pihak, sehingga membatasi waktu dapat menjadi kontraproduktif,” tambahnya.

Primaditya mengingatkan bahwa pembatasan waktu tiga tahun dapat memaksa kurator untuk mengambil langkah-langkah pintas yang berpotensi merugikan semua pihak. “Bukan berarti tanpa batasan waktu kurator bisa bertindak sesuka hati. Proses yang terlalu lama juga merugikan, tetapi membatasi waktu secara kaku justru dapat menciptakan masalah baru," jelasnya.

Ia juga mengakui adanya kasus kurator yang tidak kompeten atau sengaja mengulur waktu. Namun, menurutnya, solusi terbaik bukanlah dengan pembatasan waktu yang ketat, melainkan dengan pengawasan yang lebih baik dan inovasi hukum yang mampu mendorong efisiensi tanpa mengorbankan keadilan.

Menurutnya, waktu yang cukup lama akan merugikan Kurator dan pihak lain. Mungkin ada beberapa Kurator dengan berbagai alasan tidak mampu atau tidak mau, dengan sengaja mengulur waktu, itu menjadi perhatian kita semua agar kita semakin imajinatif dalam merumuskan hukum ke depan. “Namun saat ini belum cukup alasan bagi kita untuk memberikan batasan dengan alasan di atas. Mudaratnya pasti lebih besar dari manfaatnya,” pungkasnya.


Baca juga:

Pembeli Apartemen Uji Batas Waktu Penyelesaian Harta Pailit

Pembeli Apartemen Perbaiki Uji Batas Waktu Penyelesaian Harta Pailit

DPR dan Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan dalam Sidang Uji UU Kepailitan

Tanggapan DPR dan Pemerintah Ihwal Uji Tenggat Penyelesaian Harta Pailit


Sebagai tambahan informasi, sejumlah pembeli apartemen menguji Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 185 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) ke MK. Para Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 ini yakni Aniek Trisolawati dan Idha Achira Handajanti yang berprofesi Ibu Rumah Tangga, serta Indri Marini Akbar dan Donny yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta.

Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT Crown Porcelain dan PT Cakrawala Bumi Sejahtera, selaku pengembang Apartemen Point 8 yang terletak di Jalan Daan Mogot Km. 14, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan.

Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (2/9/2024), Para Pemohon yang diwakili oleh Heriyanto mengatakan para Pemohon hingga detik ini tidak mengetahui batas akhir pelaksanaan tugas Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi dalam melakukan pemberesan harta pailit. Menurut para Pemohon, kejelasan waktu dalam pemberesan boedel pailit seharusnya dimulai dengan penetapan batasan waktu yang spesifik untuk setiap tahap proses kepailitan.

Batasan waktu yang tegas tersebut akan menghindarkan penafsiran yang ambigu dan memberikan panduan yang jelas bagi semua pihak yang terlibat. Ketidakpastian tersebut dapat menimbulkan kebingungan, kecemasan, dan bahkan memperpanjang tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh debitur, terutama jika ada aset yang tertunda untuk dijual atau dibagi.

Dalam petitum permohonan yang telah telah diperbaiki, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan dan harus menyelesaikan pemberesan harta pailit serta seluruh pelaksanaan tugasnya dengan jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak pernyataan putusan pailit diucapkan”.

Kemudian para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Hakim Pengawas dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hakim Pengawas hanya dapat memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan.”

Selanjutnya meminta MK menyatakan Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas.”

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi.

Humas: Fauzan F.