Mode Suara
Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA
Mengawali kariernya di dunia birokrasi, siapa sangka Wahiduddin Adams, akan melangkah mantap menjadi seorang penjaga konstitusi. Sosok Wahid -panggilan akrab Wahiduddin- yang sederhana, religius, dan tidak neko-neko menjadi satu faktor kesuksesan kariernya kini. Semua yang dicapai Wahid diakuinya buah dari kerja ikhlas, doa dari kedua orang tua, dan dukungan dari keluarga tercinta.
Sederhana Nan Religius
Wahid boleh dikatakan seorang perantau sukses dari desa kecil. Anak pertama dari pasangan H. Adam Sulaiman dan Hj. Rofiah Gani ini menghabiskan masa kecilnya di Sakatiga, sebuah desa kecil di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Sedari kecil, Wahid sudah ditanamkan pendidikan agama yang kuat oleh orang tuanya. Bagaimana tidak, selepas sekolah dasar, Wahid yang berusia 12 tahun melanjutkan pendidikannya di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah.
“Ayah saya berniat anaknya yang laki-laki satu harus sekolah agama, satu sekolah umum. Saya yang sekolah agama, adik saya yang sekolah umum. Saya sekolah madrasah tsanawiyah di Desa Sakatiga sampai aliyah. Pagi sekolah umum, sore sama malamnya kita belajar kitab agama dan pengetahuan untuk masyarakat dalam keagamaan, selama 6 tahun saya di sana,” kenangnya.
Kemudian ia mengenyam ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Bak haus akan ilmu, Wahid tidak menghentikan pendidikannya sampai di situ. Ia melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar doktor di universitas yang sama. Wahid bahkan memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar SH (sarjana hukum) tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.
Ayah Wahid yang bekerja sebagai Kepala Kantor Kecamatan dan Ibunya yang mengabdi menjadi seorang guru menjadikan sosok Wahid tidak neko-neko dan sederhana. Namun, kesederhanaan keluarganya tidak menjadikan Wahid dan kedua adiknya terabai dari pendidikan. Apalagi, Kakek Wahid juga merupakan kepala sekolah pertama di salah satu kecamatan di Palembang. “Saya melihat karena mereka (orang tua) bekerja ikhlas, selalu beribadah dengan baik, memohon kepada Allah petunjuk dan bimbingan, Alhamdulillah saya dan adik-adik saya dapat berpendidikan baik,” ujarnya.
Dari orang tuanya pula Wahid mendapat pelajaran hidup yang masih ia pegang teguh hingga saat ini. Dirinya mengaku selalu ditanamkan prinsip bekerja adalah amanah. Termasuk saat menjalani karier tertingginya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Bukan hanya orang tua, Wahid juga mengakui peran istri dan ketiga putra-putrinya turut membawanya sampai pada kursi penjaga konstitusi.
“Istri dan anak-anak saya katakan motivasi dan inspirasi. Istri yang mengingatkan saya untuk bekerja dengan tekun, keras, ikhlas, dan cerdas. Anak-anak saya juga mungkin terpaksa sebagian hak-hak mereka tidak terpenuhi karena kesibukan saya”.
Birokrasi ke Independen
Beralih dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi seorang penjaga konstitusi tentu bukan perkara mudah. Banyak hal yang mesti Wahid sesuaikan, termasuk sikapnya sebagai seorang hakim. Wahid kini, tidak lagi dapat tunduk pada sistem birokrasi. Ia mesti independen dalam bersikap dan berpikir lantaran tugasnya yang bersifat memutus.
Apalagi, seorang Wahid yang terkesan pendiam ternyata juga gemar berorganisasi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
Keragu-raguan akan independensinya, diakui Wahid juga disampaikan oleh Tim Ahli untuk Seleksi Hakim Konstitusi di DPR. Menjawab hal tersebut, dirinya menegaskan persyaratan itu sudah ditentukan oleh konstitusi, bagaimana menjadi hakim konstitusi termasuk suasana kerja dan aturan kerja dan ia berkomitmen untuk mengikuti aturan sebagai hakim konstitusi yang tentunya lebih banyak batasan yang mesti ia perhatikan. “Kalau birokrasi karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka, sementara di sini fokus dan yudikatif. Ya, saya harus membatasi diri. Kalau di perundang-undangan ada kegiatan harmonisasi yang seluruh kementerian dan lembaga tiap hari berhubungan, berinteraksi yang setiap saat dan sangat cair sekali, sementara di sini fokus pada yudikatifnya dan komunikasi dengan eksternal sudah dibatasi oleh konstitusi dan Undang-Undang MK sendiri,” tuturnya.
Kendati demikian, antara pekerjaannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan Hakim Konstitusi menurut Wahid ada persamaan.“Tolak ukurnya tetap sama, terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan kita berusaha agar tidak bertentangan (dengan UUD 1945). Kalau di sini ya menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” jelasnya.
Menduduki Setiap Sudut MK
Jabatannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM membawa Wahid kerap mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi. Menteri Hukum dan HAM yang menjadi kuasa hukum permanen presiden, memberi otoritas kepadanya untuk menjadi wakil presiden pada sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Selain menduduki kursi Pemerintah dan berdiri di podium ruang sidang MK untuk memberikan keterangan, Wahid pun sempat duduk di kursi Pemohon, mewakili Kementerian Hukum dan HAM dalam sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden dengan DPR dan BPK. “Jadi, kalau ke gedungnya dan ketemu hakim-hakimnya dalam lingkup tugas yang terkait dengan tugas Menteri Hukum dan HAM bisa dibilang sering,”.
Kini, ayah dari empat orang anak ini berhasil menduduki kursi hakim konstitusi. Paripurna sudah jenjang kariernya di bidang hukum. Lelaki yang tepat berusia 60 tahun Januari lalu ini mengaku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menjadi salah satu dari sembilan pilar pengawal konstitusi. Pasalnya, Dirjen PPU terdahulu tidak ada yang melanjutkan karier sebagai hakim konstitusi.
Wahid mengaku, masa purnabaktinya akan diisi menjadi dosen. Bahkan surat keputusan (SK) PNS-nya sudah dipindahkan menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum. Namun takdir berkata lain, DPR membuka kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi saat dirinya jelang pensiun. Ia pun merasa terpanggil, pengalamannya di Direktorat Jenderal Perundang-Undangan menjadi bekal yang cukup baginya untuk mengajukan diri menjadi hakim konstitusi.
“Suasananya hampir sama. Sama-sama menjaga undang-undang agar tidak bertentangan UUD 1945. Selain tentunya kewenangan MK yang lain, di antaranya pembubaran partai politik, pemakzulan presiden, dan sengketa pemilu,” ujar ayah yang sempat mengidolakan penyanyi Teti Kadi ini. (Lulu Hanifah)
Tempat, tanggal lahir :
Palembang, 17 Januari 1954
Jabatan :
Hakim Konstitusi
Keluarga
Istri:
Dra. Titin Asiah, M.Pd
Anak:
Pendidikan:
Karier: