Mode Suara
Dr. H. Patrialis Akbar S.H., M.H.
Patrialis Akbar pernah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indondonesia dari Partai Amanat Nasional selama dua periode (1999 – 2004 dan 2004 – 2009). Tidak hanya itu, ia turut terlibat dalam pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pernah duduk sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Kini, Patrialis Akbar menduduki posisi sebagai penegak hukum, yakni hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Pria berdarah Minang ini mengucap sumpah jabatannya sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2013 – 2018 pada Selasa (13/8) lalu di Istana Negara, Jakarta. Dengan sebagai hakim konstitusi, ia pun melengkapi jejak kariernya dengan menduduki posisi di tiga cabang kekuasaan negara, yaitu legislatif, eksekutif dan akhirnya yudikatif.
Cita-cita Jadi Penegak Hukum
Dibesarkan dari keluarga veteran, menjadikan sosok bernama lengkap Patrialis Akbar ini seorang pekerja keras. Sejak kecil, meskipun berasal dari keluarga berkecukupan, Patrialis tetap diajarkan untuk membantu usaha yang dijalankan sang ayah, Letda (Purn) H. Ali Akbar, di Desa Kampung Jua, Padang. Sang ayah selalu memberikan dukungan positif pada setiap kegiatan positif yang dilakukan oleh dirinya dan keluarganya.
Pada usia 6 tahun, Patrialis dan keluarga pindah ke Kampung Tanjung Sabar yang terletak 10 kilometer dari tempat tinggal lamanya. Di sinilah ia dibesarkan hingga pada masa sekolah menengah. “Waktu SMU, saya bersekolah di dua tempat. Saya sekolah agama pada pagi hari dan berkolah di STM pada siang harinya,” kenangnya.
Bercita-cita sebagai penegak hukum, usai lulus STM, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Atas bantuan kakak perempuannya, Syarlinawati, Patrialis terbang ke Jakarta dengan membawa surat keterangan bahwa ia adalah seorang anak veteran.
Dengan surat tersebut, Patrialis berharap dapat memperoleh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelas ekstensi. Akan tetapi, kenyataannya, sesampainya ia ke ruang tata usaha, seorang pegawai yang menerima surat keterangan tersebut justru membuangnya ke tempat sampah. “Saat itu, sebagai seorang pemuda, saya merasa heran dan merasa sedih. Hal itu terjadi pada tahun 1977. Saya anak dari kampung dan baru datang ke Jakarta, lalu mendapat perlakuan seperti itu, namun saya tidak berputus asa,” paparnya.
Atas saran dari kakaknya, ia pun mendaftar di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kenyataannya, justru dengan diterimanya menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Patrialis justru mendapat kesempatan untuk menjadi pengajar. Salah seorang dosen pembimbing skripsinya, Purnadi Purwotjoroko, menawarkannya untuk menjadi staf pengajar. Melihat kesempatan tersebut, Patrialis tidak menyia-nyiakannya. “Saya langsung menjadi asisten dosen filsafat hukum di Ilmu Filsafat Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di situlah saya menggali ilmu,” paparnya.
Mengenal Dunia Politik
Menyalurkan cita-citanya sebagai penegak hukum, Patrialis pun berinisiatif bergabung dengan Lembaga Keadilan Hukum Univerisitas Muhammadiyah. Di lembaga tersebut, kemampuan Patrialis sebagai pengacara mulai terasah. Ia menangani beberapa kasus, di antaranya kasus mengenai Hotel Citra. Ia pun juga terhitung aktif dalam organisasi Pemuda Muhammadiyah. Dari sinilah, awal mula jejak langkah Patrialis di dunia politik terbentuk. Setelah berkenalan dengan Amien Rais, pada 1998, Patrialis ditawarkan untuk bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN), yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi anggota DPR-RI dua periode dari daerah pemilihan Sumatra Barat. “Saya pun langsung ditawari menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PAN,” tuturnya.
Selama di Senayan, Patrialis sempat tergabung di DPR maupun MPR. Di MPR, Patrialis tercatat sebagai salah satu pelaku perubahan UUD 1945 tahun 1999 – 2002 dengan menjadi Anggota BP MPR, PAH III, serta PAH I. PAH III (1999) maupun PAH I (2000-2002) inilah yang merancang perubahan UUD 1945. Sementara di DPR, Patrialis tercatat menjadi komisi III yang salah satunya membidangi masalah hukum. Patrialis melewati masa dua periode di DPR hingga ia akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Ia pun tercatat mulai aktif kembali di dunia politik dengan tergabung dalam Tim Sukses Pasangan SBY-Boediono pada 2009 sebagai anggota tim advokasi dan bantuan hukum. Ia pun terpilih menjadi Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Selama menjabat sebagai Menkumham, dia berusaha mengubah wajah hukum yang carut-marut di Indonesia. Ayah lima anak ini ingin menjadikan Kemenkumham menjadi law centre yang akan menjadi kebanggaan. “Hal ini karena semua hukum yang ada di negeri ini akan bersumber dari Kemenhukam,” ujarnya.
Tanpa Visi Pribadi
Mengenai keterpilihannya sebagai hakim konstitusi, Patrialis menjelaskan dirinya sebelumnya sempat terpikir untuk menjadi hakim konstitusi. Hal itu tercetus ketika MK terbentuk pada 2003 dengan ditetapkannya Undang-Undang MK. Ia pun sempat ‘bersaing’ dengan rekannya sesama pelaku perubahan UUD 1945, yaitu Harjono. “Ketika itu saya kalah satu suara. Akhirnya yang terpilih adalah Pak Harjono dan beliau adalah sahabat baik saya karena kami ada di Badan Pekerja MPR. Jadi saya lega karena yang terpilih yang paham mengenai konstitusi,” tuturnya.
Ketika ahirnya pada 2013, ia akhirnya terpilih menjadi hakim konstitusi setelah tidak lagi menjabat Menteri Hukum dan HAM. Di tengah tudingan berbagai pihak, Patrialis meyakinkan akan independensinya sebagai sebagai hakim konstitusi dan membuktikannya dengan kinerja. Ia menegaskan dirinya sama sekali sudah tidak terkait dengan partai politik sejak Desember 2011. “Jadi saya jauh mundur (dari partai politik) sebelum menjadi hakim konstitusi. Jadi itu tidak masalah. Saya paham betul bagaimana menjadi hakim dan tak mungkin memihak kepada pihak manapun. Saya bertekad untuk menegakkan keadilan,” tegasnya.
Bagi Patrialis, menjadi hakim konstitusi berarti menegakkan keadilan bagi harkat dan martabat kemanusiaan. Ia mengakui tidak memiliki visi pribadi karena ditakutkan akan mengacaukan MK. “Karena MK memutuskan putusan yang diambil berdasarkan hasil keputusan kolektif, akan bahaya jika setiap hakim memiliki visi pribadi,” tegasnya.
Tempat, tanggal Lahir
Padang, 31-10-1958
Pendidikan:
Karier: