Mode Suara
Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum.
AHMAD FADLIL SUMADI
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, karib dipanggil Fadlil, lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 22 Agustus 1952. Sebagai anak sulung, Fadlil kecil sudah dididik secara ketat oleh orang tuanya. Jika sang adik diberi kebebasan untuk bermain dengan sejawatnya, tidak demikian dengan dirinya. Sepulang dari Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar – SD), siang hingga sore hari, Fadlil kecil mengikuti pendidikan madrasah. Pulang dari madrasah langsung bersiap sholat maghrib terus mengaji kitab suci hingga tiba waktu sholat Isya’. Orang tua Fadlil biasa menyebut sekolah pagi dengan sekolah Jawa, sekolah sore dengan sekolah Arab, dan malamnya mengaji. Tiada hari tanpa belajar dan ibadah. Fadlil kecil sering memrotes perlakuan orang tuanya ini, hingga pada saatnya nanti dia sadar, berkat pola hidup masa kecil seperti itulah akhirnya menjadi modal penting bagi dirinya dalam menjalani kehidupan di kemudian hari “Saya sangat berhutang pada kedua orang tua saya,” kenangnya.
“Selain senang belajar, sejak kecil saya senang berolahraga dan bernyanyi,” kata suami Ruqiyah ini. “Tapi kalau aktif olahraga, orang tua saya melarang karena takut anaknya terkilir. Kalau ikut kegiatan menyanyi, orang tua takut anaknya kumpul dengan orang-orang yang nggak jelas,” lanjut mantan Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang Tahun 1987 ini.
Setelah lulus SD, Fadlil masuk SMP untuk sekolah Jawanya sekaligus Madrasah Tsanawiyah untuk sekolah Arabnya dan malam hari tetap diwajibkan mengaji al Qur’an. Di SMP Fadlil aktif di kegiatan Pramuka, Korps Pelajar Serbaguna, dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Ketika itu, Fadlil kelas dua SMP, menjelang naik ke kelas tiga, bertepatan dengan tragedi pemberontakan G 30 S/PKI. Sebagai kader IPNU, Fadlil juga bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Hari-harinya sibuk diisi dengan demonstrasi sehingga melalaikan tugas belajar.
Menjadi Ulama
Kegiatan demonstrasi itu berhenti kala tiba bulan puasa. Di bulan suci itu Fadlil disuruh orang tuanya beraktifitas di pondok pesantren dan berhenti dari sekolah SMP. “Waktu itu saya sangat protes. Pikiran saya saat itu, mau jadi apa saya kalau masuk pesantren, sementara kalau di SMPbisa jadi guru atau pegawai. Sementara menurut orang tua saya, saya harus keluar karena pekerjaannya hanya keluyuran dan demo,” kisah Mantan Ketua Pengadilan Agama Salatiga Tahun 1994-1998 ini.
Kemudian, di pondok pesantren milik Kyai Muslih, Mranggen, Demak itu, Fadlil juga kembali aktif di sekolah umum karena kebetulan di pesantren itu menerapkan pendidikan gabungan. Lagi-lagi, dia sekolah dobel, Jawa dan Arab. Akibat semacam replacement test system yang kurang akurat, saat akan melanjutkan ke Madrasah, Fadlil justru “terlempar” kembali ke kelas tiga Ibtidaiyah (setingkat SD). Tak pelak, di situ Fadlil tak hanya menjadi murid yang tertua, dia juga menjadi murid yang terpandai. Sejak kejadian itu, Fadlil kemudian dipindah langsung ke kelas 6 Ibtidaiyah. Setelah kelas enam selesai, langsung “meloncat” ke kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP).
Saat memasuki pendidikan Madrasah Aliyah (MA, setingkat SMU), ketika dari kelas dua naik ke kelas tiga, perekonomian keluarganya kolaps. Bisnis orang tuanya di bidang pertanian tembakau dan toko kelontong bangkrut. Karena kondisi demikian, akhirnya Fadlil tak lagi bisa mondok di pesantren. Berbekal Surat Keterangan bahwa dia sudah bersekolah di tingkat Aliyah, Fadlil remaja mengembara ke Pekalongan, Jawa Tengah, mencari teman-teman pondoknya dahulu, untuk kerja di pagi hingga siang hari dan sorenya berencana kuliah di Fakultas Syariah IAIN Walisongo cabang Pekalongan. Di Pekalongan, Fadlil justru diserahi tanggung jawab mengelola Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan temannya, sementara malam harinya Fadlil memimpin para orang tua belajar mengaji di masjid dekat sekolah yang dia kelola. Bahkan, di masjid di daerah Sembungharjo itulah, pertama kali Mantan Ketua Pengadilan Agama Purwodadi Tahun 1998-1999 ini menjadi khotib sholat Jumat. Karena pengetahuannya di bidang agama itulah, oleh masyarakat setempat, Fadlil ditahbiskan sebagai ulama.
Titik Balik Kehidupan
Selesai mengabdi di Pekalongan, dengan bekal uang saku dari Mbah-nya, Fadlil berencana pindah ke Cirebon untuk melanjutkan mondok-nya di daerah Babakan, Ciwaringin, dan kuliah di Universitas Sunan Gunung Jati sambil mengajar anak-anak Madrasah. Sebelum ke Cirebon, Fadlil pergi ke Semarang untuk membeli koper dan mampir sholat di Masjid Jami’ Demak. Di masjid inilah titik balik kehidupannya dimulai. Fadlil bertemu seorang temannya. “Ngapain ke Cirebon? Kalau ingin bekerja di Semarang saja, nanti kuliah sore di Unissula (Universitas Islam Sultan Agung - red.), “ kata temannya.
Menggenggam Surat Keterangan dan optimisme, Fadlil mendaftar sebagai mahasiswa di Unissula sembari menunggu keluar ijasah SMU-nya usai mengikuti ujian extra nei (ujian negara) bagi siswa lulusan swasta. Unissula mengabulkan dan pada akhirnya Fadlil menerima ijasahnya. Sambil kuliah, Fadlil memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengajar siswa Tsanawiyah dan Aliyah di Madrasah al Khoiriyah. Setelah lulus sebagai sarjana muda di Unissula, Fadlil melanjutkan pendidikannya menempuh doktoral tingkat empat dan lima di IAIN Walisongo, Semarang. Di sela-sela kesibukannya menyelesaikan skripsi, Fadlil menikahi Ruqiyah, mantan Bendahara Senat semasa dia menjadi Ketua Senat di Unissula.
Cahaya karir Fadlil kian terang. Saat lulus dan menjadi dosen di Unissula, Fadlil kemudian diterima di Mahkamah Islam Tinggi (nama institusi tinggalan Belanda) yang diubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama yang dulunya membawahi wilayah Jawa-Madura. Di saat yang sama, Fadlil juga sedang menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Suarakarta dan Universitas Nahdlatul Ulama. “Buat saya, siapapun dan apapun organisasi orang Islam itu, mereka adalah mitra saya di perjuangan menegakkan kalimah Allah. Karena itu tidak jadi soal meski saya pernah di IPNU, PII, dan mengajar di Muhammadiyah dan NU,” kenang Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang Tahun 1999-2001 ini yang mengaku tak pernah menjadi anggota formal organisasi NU ataupun Muhammadiyah.
Sejak diterima menjadi calon pegawai negeri sipil pada 1979, Fadlil sempat ditawari menjadi Hakim. Karena saat itu belum tertarik, maka bagian Kepaniteraan menjadi persinggahan pertamanya di dunia peradilan. “Karena saat itu sistem peradilan belum berjalan bagus, saya lihat jabatan hakim tidak menarik. Saya lebih tertarik jadi panitera karena punya jangkauan tugas yang menjangkau di luar tugas kantor, seperti berkunjung ke daerah-daerah. Sedangkan hakim hanya bertugas memutus perkara saja,” kata Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta 2001-2003 ini.
Tapi sejak 1985, pandangan itu berubah. Ketika ada tes rekrutmen hakim yang diselenggarakan melalui Universitas Indonesia, yang tempat tesnya saat itu berada di Madrasah Aliyah Ciputat, ketika itulah Fadlil mulai membaca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. “Saya mendapat pengetahuan bahwa yang namanya bertugas di pengadilan, substansinya, ya hakim. Panitera itu membantu hakim, meski panitera itu pilar kekuasaan kehakiman. Saya harus jadi hakim,” tekad Mantan Sekretaris Ketua Mahkamah Agung RI Tahun 2001-2003 ini, saat itu.
Semenjak lulus dan diterima menjadi hakim, karir Fadlil semakin menanjak. Di masa kerja yang masih tergolong minim, Fadlil pada 1990 sudah memegang amanah sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang, tahun 1994 menjadi Ketua Pengadilan Agama Salatiga, tahun 1998 menjadi Ketua Pengadilan Agama Purwodadi, tahun 1999 menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, dan pada 2001-2003 Fadlil dipercaya menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta sekaligus Sekretaris Ketua Mahkamah Agung RI.
Menjadi Panitera MK
Pada 2003, Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri. Ketua MK saat itu, Jimly Asshiddiqie, meminta ke Mahkamah Agung (MA) supaya ada Sumber Daya Manusia Kepaniteraan di MK. Saat itu, selain Fadlil, ada satu lagi kawan satu jemputannya di MA yang ditawari, yaitu Marcel Buchari, serta satu orang lagi dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Sebelum tiba saat pelantikan Panitera MK, Allah menentukan lain. Marcel Buchari jatuh sakit lalu meninggal dunia, sehingga meski secara internal Jimly sudah menunjuk Marcel menjadi Panitera namun pada akhirnya secara definitif, berdasarkan Surat Keputusan Presiden, Fadlil yang menjabat posisi Panitera sementara Sekretaris Jenderal saat itu dijabat oleh A. A. Oka Mahendra.
Banyak kenangan dan kejadian penting yang terjadi semasa Fadlil menjabat sebagai Panitera MK. Setahun setelah menjadi Sekretaris Jenderal MK, Oka Mahendra mengundurkan diri sehingga pelaksana tugas Sekretaris Jenderal saat itu dipegang olehnya. Salah satu peristiwa penting saat itu ialah penanganan perkara pemilihan umum (PHPU) tahun 2004. “PHPU pertama (tahun 2004) itu mengerikan,” begitu kalimat pertama yang meluncur dari ayah empat anak ini mengenang.
Sebagai pelaksana tugas Sekretaris Jenderal, saat itu Fadlil tidak berwenang memutuskan sesuatu yang berakibat pengeluaran uang yang signifikan, kecuali untuk soal rutin. Saat itu para pegawai MK kurang terlayani dengan baik, sampai ada kejadian ketika di suatu dini hari Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar mentraktir mie bungkus buat para Panitera Pengganti yang telah bekerja tak kenal lelah. Menurut kandidat Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang ini, hanya berkat keikhlasan, semangat, dan motivasi semua komponen yang ada di MK saat itu, akhirnya pelaksanaan PHPU 2004 berlangsung sukses. Hal lain yang membuat Fadlil terkesan saat menjadi Panitera ialah adanya pertama kali mekanisme penyerahan putusan MK langsung kepada para pihak setelah putusan dibacakan. Selain itu, saat penyelenggaraan persidangan MK mampu menghadirkan para pejabat tinggi negara, semisal menteri, ketua komisi, hingga kepala badan. “Mereka dihadirkan hanya dengan secarik kertas yang saya tandatangani, yang kemudian karena ewuh-pakewuh akhirnya untuk kepala badan dan menteri yang tandatangan surat pemanggilan ialah Pak Jimly,” kenang Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta tahun 2008-2010 ini.
Kembali Jadi Hakim Karir
Pada 2008, para Hakim Konstitusi periode kedua sebenarnya masih menginginkan dirinya menjabat sebagai Panitera MK, namun karena beberapa alasan Fadlil mohon diri untuk kembali mengabdi sebagai hakim karir di lingkungan MA. Pertama, Fadlil mengemukakan bahwa jika bertahan sebagai Panitera maka masa pengabdiannya hanya akan sampai umur 60 tahun, sementara jika menjadi hakim bisa sampai umur 67 tahun.
Kedua, menjadi Hakim tentunya akan menambahmenambah ilmu, pengetahuan, dan pengalamannya, karena dengan menjadi hakim maka harus memutus dan mempertimbangkan sendiri, apalagi dengan suasana baru hal itu menumbuhkan motivasi dan tantangan baru baginya. Ketiga, Fadlil berprinsip jika memegang kekuasaan terlalu lama, maka jika tidak pandai merawatnya, amanah bisa terkikis menjadi milik. “Sebaiknya kekuasaan jangan terlalu lama di situ. Jadinya bukan ini amanah dari negara atau Allah untuk dijalankan, tapi menjadi ini punya saya, ini hak saya, ini kewenangan saya. Saya takut juga jadinya,” kata peraih penghargaan Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun ini, mengingatkan.
Menjadi Hakim Konstitusi
Road map karir yang dijalani Ahmad Fadlil Sumadi pada akhirnya bisa mengarah pada tiga hal, pertama, menjadi Hakim Konstitusi. Kedua, menjadi Hakim Agung. Ketiga, menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Namun, Fadlil tak pernah secara spesifik mengharapkan satu di antaranya, yang selalu dia pinta kehadirat Allah ialah “Sekiranya saya tepat untuk duduk di jabatan itu, maka takdirkanlah saya untuk itu dan bimbinglah saya dan berikanlah berkah dan manfaat buat saya, keluarga, dan bangsa ini. Maka sekiranya tidak, palingkanlah.” tegasnya.
Di MK ini, Fadlil berkeinginan mempertahankan apa yang selama ini telah berjalan baik seperti menjaga semangat kekeluargaan, bekerja, dan berjuang yang tinggi di antara semua pegawai MK, adanya kepastian putusan dan penyerahannya. Fadlil ingin MK menjadi pengadilan yang dihormati oleh karena pelayanannya yang baik dan putusannya adil. “Saya berharap MK bisa menarik garis yang bisa menghimpun atau sejalan dengan perspektif keadilan yang dipandang banyak orang. Itulah putusan hukum yang akan ditaati secara ikhlas dan sukarela oleh bangsa ini manakala putusan itu berbasis keadilan dan moral yang tercermin di dalam kecermatan, kebaikan, dan keseksamaan,” tekannya.
Hukum tata negara dan konstitusi bukanlah hal baru bagi Fadlil, karena selain pernah menjadi Panitera MK, sebelumnya pada 1996 telah menempuh program pascasarjana hukum tata negara di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dan kini sedang menyelesaikan program doktor di bidang hukum tata negara dengan promotor Mantan Ketua MA, Bagir Manan. “Biarlah sejarah yang mencatat kinerja saya melalui putusan yang saya hasilkan di MK,” jelasnya.