Mode Suara
Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
Menjadi Ksatria Sekaligus Brahmana
Jika saja Maria Farida Indrati muda tidak mendengar nasehat orang tuanya, mungkin ia tidak akan pernah menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi sebagai hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena, sejak kecil Maria bercita-cita menjadi guru piano. “Saya kepingin menjadi guru piano saja. Tidak lain,” kenang Maria.
Setiap kali ditanya tentang cita-citanya, Nunuk kecil, begitu Maria biasa disapa keluarganya, selalu dijawab ingin menjadi guru, namun keinginan itu tidak pernah diketahuinya sampai ia menjadi dosen,tutur perempuan kelahiran Solo, 14 Juni 1949 itu. Keceriaannya sebagai anak-anak tidak berkurang meski ketika berusia 3,5 tahun ia terkena penyakit polio yang membuat kaki kirinya cacat. Pada saat ibu, sang ibu Veronica Sutasmi, sering membawanya ke berbagai rumah sakit maupun ahli pijat untuk mengobati kakinya.
Karena kegemarannya akan musik, Maria mulai mengikuti les piano sejak kelas 3 Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), pada seorang guru piano berkebangsaan Perancis, ibu Nicoline Gentil. Pada saat Maria menduduki bangku kelas 5 Sekolah Rakyat, ia terpaksa harus belajar hidup mandiri jauh dari kedua orang tuanya, dan tinggal bersama bibinya selama enam tahun. Pada saat itu, ayah Maria, Raden Petrus Hendro, yang bekerja sebagai wartawan di Lembaga Kantor Berita Nasional LKBN) Antara, harus bertugas, di Bonn, Jerman Barat.
Sewaktu Maria bersekolah di SMA Katolik, Ursulin Solo, teman-temannya selalu menduga bahwa ia akan pindah ke Jakarta dan sekolah di Universitas Indonesia, oleh karena saat itu kedua orang tuanya telah kembali ke tanah air dan tinggal di Jakarta. Namun, saat itu Maria selalu menepisnya dan mengatakan, “Saya tidak akan sekolah di Jakarta, sekolah kok demo terus”. Memang saat itu, sekitar tahun 1969 gejolak politik di tanah air sedang panas dan setiap kali terlihat mahasiswa Universitas Indonesia turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Ayah Maria, yang memahami kegemaran putrinya akan musik dan keinginannya untuk menjadi pianis, memang menganjurkan Maria untuk masuk sekolah musik. Oleh karena itu, Maria kemudian mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan di Akademi Musik Indonesia di Yogyakarta dengan berlatih piano giat dan mempelajari olah vokal. Harapan Maria untuk memperdalam bidang musik rupanya tidak berjalan mulus. Pada saat Maria ingin ke Yogyakarta mengikuti pendidikan musik, ayah Maria mengatakan: “Apakah benar mau sekolah musik, karena orang Indonesia itu tidak suka musik”. Maria paham betul makna perkataan itu, karena pada saat itu seseorang tidak dapat mengandalkan hidupnya dari musik.
Putar Haluan ke Fakultas Hukum
Akhirnya Maria mengikuti anjuran keluarganya untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia. Oleh karena untuk beberapa fakultas diperlukan test matematika maka Maria memilih mengikuti test masuk ke Fakultas Hukum dan akhirnya memilih jurusan hukum Tantra/Aministrasi Negara.
Maria melihat ayahnya sebagai sosok yang sangat mengayomi, sehingga kebijaksanaan ayahnya selalu menjadi tumpuan harapannya setiap kali ia dilanda kebingungan atau menemui kesulitan. “Walaupun saya tahun saya salah, Bapak saya tidak pernah marah,” katanya.
Ketika Maria harus memutuskan pilihan pekerjaan maka ia pun kembali pada ayahnya. Pada saat menyelesaikan skripsinya, Maria sudah melamar menjadi karyawan di sebuah perusahaan otomotif dan berhasil diterima, namun karena kuliahnya belum selesai ia meminta kepada manak=jemen di perusahaan tersebut untuk mulai bekerjpada bulan Januari 1976, setelah menyandang gelar Sarjana Hukum.
Dilamar Menjadi Dosen
Pada bulan November 1975, sidang skripsi Maria tentang “Perbandingan Sistem Pemerintahan Ngayogyakarta dengan Republik Indonesia” berlangsung. Di hadapan Maria duduk sepuluh dosen bidang Hukum Administrasi Negara yang dipimpin oleh Prof. Mr. Prajudi Atmosudirdjo. Pada saat Prof. Prajudi menguji skripsinya, beliau menanyakan kesanggupan saya (“melamar”) untuk menggenapkan sepuluh dosen tersebut menjadi kesebelasan. Beliau menanyakan: “Kalau Anda sudah lulus jadi Sarjana Hukum, mau tidak menjadi kesebelasan kita?” Karena tidak yakin mau menjadi dosen, tetapi juga takut jika ia menolak maka tidak akan lulus, akhirnya dengan setengah terpaksa Maria mengiyakan tawaran tersebut.
Di tengah kebingungan dan adanya keraguan untuk menjadi dosen,ia menghadap sang ayah untuk minta pertimbangannya. Ayah saya berkata, “kalau kamu bekerja di tempat lain ilmu kamu akan berhenti, tetapi kalau kamu jadi dosen,kamu masih banyak kesempatan untuk belajar”. Setelah mendengar petuah itu, ia pun sampai pada keputusan memilih menjadi dosen Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah bergabung dalam “kesebelasan” Prof. Prajudi, Maria sering terlibat dalam perkumpulan pengajar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Prof. Prajudi sering mengatakan bahwa semua asistennya harus menjadi Doktor dan bahkan setiap asistennya diberikan topik disertasinya.
Memenuhi Pesan Ayah
Rupanya, tanpa Maria sadari, pada saat ia memutuskan menjadi dosen,ia telah memenuhi sekaligus dua keinginan ayahnya. “Rupanya Bapak saya ingin ada anaknya yang jadi guru atau sarjana hukum”, ujarnya. Oleh karena, sebelum menjadi wartawan, ayah Maria pernah menjadi guru. Ia juga pernah kuliah di fakultas hukum, namun tidak sampai tamat karena harus bertugas ke luar negeri. Sayangnya, Maria baru mengetahui keinginan ayahnya itu setelah ayahnya meninggal. “Saya menyesal, padahal saya ingin membahagiakan bapak” katanya.
Selain menjadi dosen, Maria juga mengikuti pendidikan Notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia berfikir bahwa profesi notaris akan mampu menghidupinya sebagai seorang perempuan. Rupanya dalam benaknya juga terlintas pikiran kalau-kalau ia tidak menikah akibat penyakit polio yang dideritanya. Walaupun demikian, Maria tidak pernah menerjuni profesi notaris. Pada saat Maria akan magang pada seorang notaris dan menghadapi ujian akhir notariat, ia menceritakan keinginannya untuk membuka kantor notaris pada Prof. A.Hamid S. Attamimi, SH, dosen pembimbing Maria di bidang Perundang-undangan. Mendengar keinginan saya tersebut beliau mengatakan demikian, “Pejabat itu kalau diukur kastanya adalah ksatria, sedangkan dosen atau guru itu kastanya brahmana. Masak kamu sudah masuk kasta brahmana mau menjadi ksatria?” kenang Maria.
Sebagai dosen, sekarang Maria juga senang jika pemikirannya diikuti oleh orang lain, apalagi ia termasuk orang pertama yang bersama Prof. A. Hamid S. Attamimi memperkenalkan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia. Untuk pertama kalinya, mata kuliah itu diajarkan di Indonesia pada tahun 1976. Ilmu Perundang-undangan ini perlu untuk diajarkan oleh karena selama ini di fakultas hukum atau sekolah tinggi hukum hanya mengajarkan kepada mahasiswanya bagaimana menggunakan hukum dan tidak mengajarkan bagaimana membentuk hukum tersebut. Berkat kegigihan Prof. Hamid, Ilmu Perundang-undangan lambat laun sudah mulai berkembang, sayangnya pada tahun 1994 Prof. Hamid dipanggil Tuhan.
Maria sendiri memperdalam ilmunya dengan mengikuti pendidikan perundang-undangan di berbagai tempat. Beberapa di antaranya adalah Pendidikan Teknik Perundang-undangan di Leiden, Belanda (1988), Pendidikan Proses Pembentukan Peratuan Perundang-undangan di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda (1990). Ia juga pernah belajar legislative drafting di Boston Universty School of Law, Amerika Serikat (2002).
Tak Membayangkan Menjadi Hakim Konstitusi
Keahlian Maria di bidang perundang-undnagan kemudian membawanya sebagai anggota, ketua, maupun narasumber di sejumlah lembaga. Salah satunya, anggota Board of Advisors, International Consortium on Law and Development (ICLAD), The Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change, (2004-2009). Sebelumnya, ia sempat juga menjadi anggota tim perumus maupun anggota tim penyelaras Komisi Konstitusi pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kendati begitu, Maria tak pernah menduga ilmu yang ia geluti akan membawanya menjadi hakim konstitusi. Memang sesaat sebelum MK terbentuk pada tahun 2003, taman-teman Maria banyak yang memintanya untuk mendaftar sebagai hakim konstitusi, “Terutama untuk memenuhi keterwakilan 30% perempuan,” katanya. Namun pada saat itu ia masih ingin menjadi dosen. Baginya masuk dalam suatu lembaga akan membuatnya tidak sebebas akademisi dalam berpendapat.
Pada saat itu, sebagai pakar yang sering dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, ia merasa MK merupakan lembaga yang sangat powerful. “Bagaimana suatu Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden dapat diuji oleh MK?” katanya. “Padahal, membentuk Undang-Undang itu tidak mudah dan tidak main-main”.
Menjelang lima tahun berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi periode pertama, teman-teman Maria kembali mendekati dan mengusulkan untuk mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi, tetapi ia tetap menolak ketika DPR membuka pendaftaran calon hakim konstitusi. Anehnya, ia mendapat kabar dari mahasiswa dan teman-teman dosen bahwa namanya masuk dalam nama calon hakim yang diusulkan, padahal ia merasa tidak pernah dihubungi.
Pada akhir bulan Juli, ketika Maria baru kembali dari Bali menjadi narasumber salah satu rancangan undang-undang, ia mendapat telepon dari nomor yang tidak ia kenal yang memintanya untuk mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. “Ibu diminta untuk mencalonkan, karena teman-teman meminta ibu sebagai hakim konstitusi,” ujar Maria menirukan telepon dari seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu. Selama beberapa detik permintaan itu masih terasa aneh baginya. Namun, kemudian ia menjawab akan mengajukan beberapa persyaratan berikut riwayat hidupnya kepada panitia seleksi calon hakim konstitusi yang dibentuk oleh pemerintah. Untuk beberapa saat Maria dihadapkan lagi pada dilema antara menerima dan menolak tawaran tersebut. Ia merasa jika menolak permintaan itu maka hal itu adalah suatu kesombongan, sementara di sisi lain, sebagai orang yang biasa dilibatkan dalam pembentukan undang-undang, ia juga merasa aneh kalau tiba-tiba harus menjadi orang yang bertugas untuk menguji undang-undang. Karena itu, ketika menulis surat kesediaan, Maria menyatakan bahwa, ”Sesungguhnya ia merasa senang dan bangga menjadi dosen, tetapi kalau Presiden berkehendak lain, saya akan mengikuti,” ujarnya.
Motto Hidup untuk MK
Sebenarnya, sebagai satu-satunya hakim konstitusi perempuan, di MK Maria tak banyak merasakan suasana yang berbeda, oleh karena ia terbiasa berada dalam suatu komunitas di mana ia menjadi satu-satunya perempuan, tetapi ia cukup kaget dengan protokoler keseharian. Sebagai hakim ia dibantu seorang sekretaris, peneliti, panitera pengganti, bahkan seorang ajudan, “Saya tidak biasa dengan cara seperti itu,” ujarnya.
Sebelumnya, sebagai dosen Maria biasa bekerja sendiri dan membawa barang-barangnya sendiri, bahkan dalam acara resmi di kampus ia biasa memakai toga sendiri, sehingga ia terkejut pada saat pertama kali mengikuti sidang di MK, karena yang memakaikan toga itu tiga orang. “Lho kenapa harus bertiga?” katanya lagi. Lama kelamaan Maria merasa memang harus menyesuaikan diri, walaupun untuk hal-hal yang harus dilakukan di luar tugasnya ia selalu menekankan agar tidak menerapkan hal-hal yang bersifat protokoler.
Di “rumah” barunya itu, Maria juga ingin melaksanakan motto hidupnya, yaitu, serviam yang artinya saya mau mengabdi. Motto itu ia dapatkan pada saat Maria sekolah di SMA Ursulin, Solo, dimana ia tinggal di asrama di belakang gedung sekolahnya, juga ketika ia tinggal di asrama Santa Ursula, Jakarta semasa ia kuliah di Universitas Indonesia. Oleh karena itu, ia akan mengabdi sebaik-baiknya di mana pun berada. “Saya tidak ingin menjadi orang yang selalu dilayani tetapi saya ingin dapat selalu melayani mereka yang harus dilayani,” tutur Maria, serius.
Motto hidupnya yang kedua adalah “berdoa dan bekerja” (ora et labora), “Karena dalam melaksanakan pekerjaan saya itulah doa saya,” katanya. Dalam doa, ia juga bekerja, demikian juga sebaliknya. “Saya bekerja sebagai ungkapan rasa syukur saya pada Tuhan,” katanya.
Sebagai orang yang bekerja dan mengabdi di MK, Maria berharap MK tetap berdiri dan bekerja sesuai dengan keinginan masyarakat. “Karena apapun isi dalam konstitusi, kita harus melaksanakan itu,” ujarnya. Ia tidak ingin MK menjadi kambing hitam masalah. “Saya ingin MK justru menyelesaikan masalah,” Maria menambahkan.***