Mode Suara

Justino Halomoan Sinaga pemohon prinsipal saat sidang putusan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang tentang Advokat, Kamis (29/08). Foto Humas/Bayu.

Kamis, 29 Agustus 2024 | 07:55

Dibaca: 58

Posita dan Petitum Tidak Jelas, Permohonan Uji UU Advokat Tidak Dapat Diterima

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (29/8/2024) di ruang sidang MK. Permohonan ini diajukan oleh Justino Halomoan Sinaga.

“Amar putusan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,
ujar Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 98/PUU-XXII/2024.

Dalam pertimbangan yang diucapkan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menyebut telah memeriksa permohonan Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 7 Agustus 2024. Dalam persidangan tersebut, Mahkamah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon, yaitu kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan (posita), dan hal-hal yang dimohonkan (petitum) sehingga sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam PMK 2/2021.

“Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 2024, Pemohon telah menyampaikan perbaikan permohonan kepada Mahkamah dan telah diperiksa dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada tanggal 22 Agustus 2024. Setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, khususnya berkenaan dengan sistematika permohonan, ternyata format permohonan Pemohon telah memenuhi sistematika permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK. Namun demikian, jika dicermati lebih lanjut uraian alasan-alasan permohonan (posita) yang dikemukakan oleh Pemohon tidak menguraikan adanya argumentasi hukum yang jelas, terutama berkaitan dengan adanya pertentangan antara norma yang dimohonkan pengujian dengan dasar pengujian yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945,” jelasnya.

Oleh karena itu, Daniel melanjutkan, Mahkamah tidak dapat memahami permasalahan konstitusionalitas norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, karena Pemohon lebih banyak menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kasus konkret yang dialaminya serta kekecewaan Pemohon yang sesungguhnya berkenaan dengan tataran implementasi atas berlakunya norma-norma yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, berdasarkan uraian fakta-fakta hukum dimaksud, Mahkamah sulit menilai adanya pertautan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian dengan hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebab, syarat utama agar suatu pasal dan/atau ayat undang- undang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah pasal dan/atau ayat tersebut harus terbukti dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

 

Petitum Tidak Lazim

Selain fakta hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Daniel menegaskan, jika dicermati lebih lanjut rumusan petitum Pemohon menurut Mahkamah juga merupakan rumusan yang tidak lazim. Ketidaklaziman tersebut yaitu pada petitum angka 2 sampai dengan angka 7.

Pada petitum angka 2 pada pokoknya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengganti frasa "pencari keadilan" dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang 48 Tahun 2004 diganti menjadi "korban" dan mengganti frasa "pihak lain" menjadi "mafia hukum", terhadap petitum ini Pemohon telah keliru menuliskan tahun dari undang-undang yang diuji.

 

“Berkenaan dengan petitum Pemohon angka 3 yang pada pokoknya dengan berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 memohon kepada Mahkamah untuk membentuk pengadilan yang bersih dan berwibawa serta membentuk komisi penegakan hukum dan dewan ketahanan hukum untuk mengawasi dan melawan mafia hukum. Berkenaan dengan petitum Pemohon angka 4 yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menafsirkan frasa "hambatan dan rintangan pada Pasal 4 ayat (2) UU 48/2009 menjadi "kejahatan hukum terencana dalam pengadilan" sehingga Mahkamah Konstitusi perlu membentuk inspektorat konstitusi atau polisi konstitusi untuk keadilan hukum acara,” urainya.

Sedangkan berkenaan dengan petitum Pemohon angka 5 yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk mengganti frasa "pihak lain" dalam Pasal 3 ayat (2) UU 48/2009 dengan "mafia (kelompok) terorganisir sehingga memperberat hukumannya menjadi dua kali lipat. Selanjutnya, berkenaan dengan petitum Pemohon angka 6 yang pada pokoknya dengan berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 memohon kepada Mahkamah untuk melaksanakan perintah Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yaitu Hakim Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan pengadilan konstitusi untuk menilai hukum dan keadilan bagi Pemohon. Jika Hakim Panel Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengadili, setelah perkara ini diputus Pemohon akan mengajukannya ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Terakhir, petitum Pemohon angka 7 yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk mengganti frasa "bebas" dalam Pasal 15 UU 18/2003 dengan frasa yang dimaknai praktik penyelenggaraan hukum acara advokat dalam peradilan, sehingga DPR diminta untuk menyiapkan hukum acara advokat berdasarkan kekuasaan kehakiman.

Seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pengujian undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021. Adapun salah satu syarat untuk menyatakan petitum permohonan yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud, norma yang dimohonkan pengujian harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut sama sekali tidak dicantumkan dalam petitum permohonan.

Dengan demikian, di samping uraian alasan permohonan (posita) tidak jelas, dan petitum Pemohon yang tidak lazim tersebut, maka tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan alasan permohonan (posita) dan hal-hal yang dimohonkan (petitum) Pemohon adalah tidak jelas atau kabur yang sekaligus mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.


Baca juga:

Uji Materi KUHAP dan UU Advokat Diperbaiki

Seorang Wiraswasta Keluhkan Proses Peradilan Rumit, Lama, dan Mahal


Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi

Humas: Fauzan F.