Mode Suara

Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin jalannya sidang pengucapan putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, Rabu (20/03) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Rabu, 20 Maret 2024 | 08:13

Dibaca: 14646472

Pimpinan Organisasi Advokat Jadi Timses Capres, Konstitusional

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) sebagaimana telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XX/2022. Pemohon mempersoalkan masuknya pimpinan organisasi advokat sebagai pimpinan tim sukses pemenangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) ditolak MK.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 22/PUU-XXII/2024 pada Rabu (20/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekah yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan profesi advokat adalah pemberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Karena itu, jika advokat yang sekaligus seorang pimpinan organisasi advokat diberlakukan pembatasan untuk tidak memberikan jasa hukum yang diberikan berkaitan erat dengan aktivitas dengan aspek-aspek hukum yang melekat dalam tim sukses capres-cawapres, maka advokat yang sekaligus sebagai pimpinan organisasi advokat justru dapat dikenai tindakan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.

“Artinya, memberikan larangan terhadap advokat yang menjabat sebagai pimpinan organisasi advokat yang tergabung dalam tim sukses pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah sama halnya menghadapkan advokat yang bersangkutan untuk dapat dikenakan sanksi karena telah melakukan pelanggaran etik, bahkan dimungkinkannya dapat dituntut secara keperdataan, karena menghindarkan diri dari kewajiban membela klien yang menjadi salah satu kewajiban membela kliennya di luar proses peradilan,” kata Daniel membacakan pertimbangan hukum.

Daniel melanjutkan, advokat dilarang untuk membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Dengan demikian, advokat yang sekaligus menjadi pimpinan organisasi advokat pada saat mendapat penunjukan menjadi tim sukses pemenangan capres-cawapres dapat dikatakan merupakan bagian bentuk kesediaan advokat yang bersangkutan dalam memberikan bantuan hukum kepada siapapun yang memerlukan tanpa memandang keyakinan politiknya, di mana hal tersebut sulit dipisahkan dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan profesinya dengan kedudukannya sebagai anggota tim sukses pemenangan pasangan capres-cawapres semata.

Mahkamah menegaskan, norma a quo adalah norma yang tidak mungkin dapat diperluas pemaknaannya dengan menambahkan frasa “serta menduduki pimpinan tim sukses pemenangan calon presiden dan wakil presiden” sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Sebab, jika hal tersebut diakomodasi justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baru, karena sulit membedakan advokat yang merupakan pimpinan organisasi advokat tersebut tergabung dalam pimpinan tim sukses pasangan capres-cawapres semata-mata karena menggunakan hak politiknya ataukah sedang menjalankan fungsi advokasi dalam mengaktualisasi tugas profesinya sebagai advokat.

“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Permohonan mengenai ketiadaan pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat yang menduduki jabatan pimpinan tim sukses pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah tidak beralasan menurut hukum,” tutur Daniel.


Baca juga:

Bolehkah Pimpinan Organisasi Advokat Jadi Timses Capres?

Pemohon: Jaga Independensi, Ketua Organisasi Advokat Dilarang Jadi Timses Capres


Sebagai informasi, Pemohon ialah seorang advokat bernama Deddy Rizaldy Arwin Gommo dengan memberi kuasa kepada Actaviani Carolina Laromang Putri. Menurut Pemohon, larangan bagi ketua organisasi advokat untuk bergabung sebagai tim pemenangan calon presiden dapat dikaitkan dengan kebutuhan untuk menjaga integritas, kemandirian, dan martabat profesi advokat, sebagaimana diamanatkan Pasal 20 UU Advokat. Jika larangan tersebut tidak diterapkan, terdapat potensi terganggunya tujuan dari pasal tersebut yang bertujuan untuk melindungi kepentingan tugas dan martabat profesinya.

Keanggotaan ketua organisasi advokat dalam tim pemenangan capres dan cawapres dapat menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan kebebasan advokat dalam memberikan pelayanan hukum tanpa adanya pengaruh politik yang mungkin dapat merugikan klien atau masyarakat. Penting untuk mencermati hak konstitusional masyarakat terhadap pelayanan hukum yang adil, netral, dan independen. Jika ketua organisasi advokat terlibat dalam aktivitas politik yang tidak sejalan dengan larangan dalam Pasal 20 UU Advokat tersebut, ada potensi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan pelayanan hukum yang bebas dari intervensi politik akan terhambat.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 28 ayat (3) UU Advokat sebagaimana telah dimaknai Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai "Pimpinan Organisasi Advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah termasuk pimpinan tim sukses pemenangan calon presiden dan wakil presiden”.

Namun, karena permohonannya ditolak, Pasal 28 ayat (3) UU Advokat sebagaimana telah dimaknai Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 masih berbunyi sebagai berikut: "Pimpinan Organisasi Advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.”

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Tiara Agustina.