Mode Suara
Jumat, 04 Oktober 2024 | 04:14
Dilihat : 207JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Fadli Ramadhanil, Heroik Pratama Mutaqin, dan Muhammad Iqbal Kholidin sebagai tim kuasa hukum Perludem membacakan dalil-dalil permohonan secara bergantian dalam Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada Jumat (4/10/2024). Menurut Perludem (Pemohon), pemilu serentak lima kotak telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab dalam pandangan Pemohon, pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis, dan implementasi undang-undang saja.
Selain itu, pengaturan jadwal penyelenggaraan pemilu akan berdampak sangat serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu yang termuat dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 serta berdampak pada kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga pengaturan pada undang-undang tersebut yang memerintahkan pelaksanaan pemilu Presiden, DPR, DPD, yang dibarengi dengan pemilu anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terbukti terus-menerus membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus.
“Akibatnya, ketentuan di dalam undang-undang a quo yang memerintahkan pelaksanaan pemilu lima kotak secara langsung sekaligus, telah melemahkan pelembagaan partai politik. Partai menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan,” terang Fadli kepada Majelis Sidang Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Petitum
Berdasarkan alasan tersebut, Perludem dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian, Perludem meminta MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada pelaksanaan pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan pada pelaksanaan pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota”.
Perludem juga meminta MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017, “Pemungutan suara pemilu diselenggarakan secara serentak,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak, dan dua tahun setelahnya pemungutan suara pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan secara serentak.”
Selain itu, Perludem meminta MK menyatakan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015, “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Omnibus Kepemiluan
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya mencermati permohonan Pemohon pada substansi dengan keterkaitannya dengan Putusan 55/PUU-XVII/2019 dan perihal sistem atau model yang diserahkan kepada pembentuk undang-undang sehingga MK hanya memberikan pilihan. Sebab hal tersebut sejatinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang dalam memutus pelaksanaannya yang persiapannya membutuhkan waktu 2,5 tahun.
“Pilihan menyangkut model butuh kajian dan MK hanya meminta untuk lakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk melakukan simulasi terhadap keserentakan ini. Perludem sebagai lembaga kajian kepemiluan seharusnya dapat membangun kajian komprehensif mengenai pemaknaan dan pembatalan dalam mendorong pembentuk undang-undang untuk menyiapkan pembentukan omnibus kepemiluan,” terang Enny.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul memberikan nasihat tentang skema pelaksanaan pemilu serentak yang terlihat melanggar UUD 1945. Sebab pada permohonan terdapat kelebihan masa jabatan, hal ini justru pelanggaran terhadap konstitusi.
“Salah satu argumen Pemohon, pemilu serentak lima kotak melemahkan parpol karena terlena dan terburu-buru seperti hanya kegiatan lima tahun, ini apakah persoalan yuridis atau manajemen perencanannya parpol, ini harus diperjelas dengan hasil studi,” sampai Arsul.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 17 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.
Fadli Ramadhanil kuasa Hukum Pemohon menjelaskan pokok permohonannya pada sidang panel pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Jumat (04/10) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Jumat, 04 Oktober 2024 | 04:14
Dibaca: 207
JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Fadli Ramadhanil, Heroik Pratama Mutaqin, dan Muhammad Iqbal Kholidin sebagai tim kuasa hukum Perludem membacakan dalil-dalil permohonan secara bergantian dalam Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada Jumat (4/10/2024). Menurut Perludem (Pemohon), pemilu serentak lima kotak telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab dalam pandangan Pemohon, pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis, dan implementasi undang-undang saja.
Selain itu, pengaturan jadwal penyelenggaraan pemilu akan berdampak sangat serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu yang termuat dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 serta berdampak pada kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga pengaturan pada undang-undang tersebut yang memerintahkan pelaksanaan pemilu Presiden, DPR, DPD, yang dibarengi dengan pemilu anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terbukti terus-menerus membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus.
“Akibatnya, ketentuan di dalam undang-undang a quo yang memerintahkan pelaksanaan pemilu lima kotak secara langsung sekaligus, telah melemahkan pelembagaan partai politik. Partai menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan,” terang Fadli kepada Majelis Sidang Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Petitum
Berdasarkan alasan tersebut, Perludem dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian, Perludem meminta MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada pelaksanaan pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan pada pelaksanaan pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota”.
Perludem juga meminta MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017, “Pemungutan suara pemilu diselenggarakan secara serentak,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara pemilu nasional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak, dan dua tahun setelahnya pemungutan suara pemilu daerah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan secara serentak.”
Selain itu, Perludem meminta MK menyatakan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015, “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Omnibus Kepemiluan
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya mencermati permohonan Pemohon pada substansi dengan keterkaitannya dengan Putusan 55/PUU-XVII/2019 dan perihal sistem atau model yang diserahkan kepada pembentuk undang-undang sehingga MK hanya memberikan pilihan. Sebab hal tersebut sejatinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang dalam memutus pelaksanaannya yang persiapannya membutuhkan waktu 2,5 tahun.
“Pilihan menyangkut model butuh kajian dan MK hanya meminta untuk lakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk melakukan simulasi terhadap keserentakan ini. Perludem sebagai lembaga kajian kepemiluan seharusnya dapat membangun kajian komprehensif mengenai pemaknaan dan pembatalan dalam mendorong pembentuk undang-undang untuk menyiapkan pembentukan omnibus kepemiluan,” terang Enny.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul memberikan nasihat tentang skema pelaksanaan pemilu serentak yang terlihat melanggar UUD 1945. Sebab pada permohonan terdapat kelebihan masa jabatan, hal ini justru pelanggaran terhadap konstitusi.
“Salah satu argumen Pemohon, pemilu serentak lima kotak melemahkan parpol karena terlena dan terburu-buru seperti hanya kegiatan lima tahun, ini apakah persoalan yuridis atau manajemen perencanannya parpol, ini harus diperjelas dengan hasil studi,” sampai Arsul.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 17 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.