Mode Suara
Senin, 02 Desember 2024 | 06:57
Dilihat : 375JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pada Senin (2/12/2024). Agenda sidang Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 kali ini yakni mendengarkan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). OJK menyatakan ketentuan Pasal 251 KUHD dibuat karena perjanjian asuransi memerlukan kejujuran atau itikad baik dari para pihak dalam proses terjadinya perjanjian asuransi selama masa perjanjian dan pada saat terjadinya klaim.
“Karena itu, perjanjian asuransi disebut contract of uberrimae fidei (contract of the utmost good faith) yaitu perjanjian yang didasarkan pada asas kejujuran atau itikad paling baik,” ujar Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK Yuliana di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Dia menjelaskan syarat sah perjanjian asuransi diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 250 KUHD, dan Pasal 251 KUHD. Pasal 251 KUHD memberikan beban atau mewajibkan kepada setiap orang calon tertanggung/pemegang polis untuk memberitahukan, dan menyampaikan semua keterangan, informasi, data, dan keadaan mengenai objek yang akan diasuransikan dan tidak membebankan kewajiban terhadap penanggung/perusahaan asuransi untuk mencari tahu sendiri semua keterangan, informasi, data, dan keadaan (fakta material) dari objek yang akan diasuransikan karena yang mengetahui kondisi semua hal tersebut adalah pihak yang akan mengasuransikan sebagai pemilik atau yang menguasai objek asuransi dan yang mempunyai insurable interest atas objek asuransi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara tertanggung dan penanggung dalam kontrak asuransi, di mana informasi asimetri (ketimpangan informasi) dapat diminimalisir sebagaimana ketentuan Pasal 251 KUHD.
Ketentuan dalam Pasal 251 KUHD memuat suatu asas kejujuran, itikad baik, atau transparansi yang fair dalam menyampaikan semua keterangan, informasi, data mengenai objek yang akan diasuransikan kepada penanggung/perusahaan asuransi. Selanjutnya, ketentuan Pasal 251 KUHD juga mewajibkan seseorang yang mau atau hendak mengasuransikan suatu objek asuransi supaya bersikap jujur, terbuka, tidak berbohong atau tidak menyembunyikan suatu keterangan, informasi, data dan keadaan yang mempengaruhi tingginya risiko yang telah diketahui oleh tertanggung/pemegang polis.
Keterangan, informasi, fakta, dan keadaan (fakta material) mengenai objek yang akan diasuransikan, yang diterima oleh penanggung, semuanya itu akan dipergunakan untuk melakukan penilaian terhadap risiko yang akan diterima atau diasuransikan kepadanya. Adapun proses penilaian risiko ini disebut dengan underwriting. Semua fakta material tersebut sangat penting bagi penanggung karena akan mempengaruhi sikap dan keputusan dari penanggung (prudent insurer) dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan dalam melakukan penerbitan polis untuk tertanggung, sebagai dasar untuk menentukan besar kecilnya premi yang akan dibayar oleh tertanggung/pemegang polis, serta menentukan analisis risiko.
“Berdasarkan hal-hal di atas, tanpa adanya Pasal 251 KUHD, maka akan sangat sulit bagi perusahaan asuransi untuk dapat menghitung secara layak risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi dan perhitungan premi asuransi yang harus dibayar oleh pemegang polis, sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap bisnis asuransi agar dapat dijalankan dan dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan berkelanjutan,” jelas Yuliana.
Di samping itu, dia mengatakan, Pemohon tidak dapat menunjukkan adanya kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal 251 KUHD serta tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi permohonan ini. Menurut OJK, sengketa yang dihadapi Pemohon yang menghendaki pembayaran penuh dari klaim asuransi merupakan sengketa keperdataan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi karena asuransi/pertanggungan didasarkan perjanjian asuransi yang dituangkan pada polis sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan bukanlah permasalahan konstitusional.
Yuliana melanjutkan, Pemohon pun belum menempuh jalur penyelesaian sengketa baik melalui Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) sekarang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) maupun mengajukan gugatan ke pengadilan. Dengan demikian, menurut OJK, dalil Pemohon dalam permohonan a quo yang mendalilkan adanya hak konstitusional Pemohon telah dirugikan/dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 251 KUHD adalah tidak berdasar hukum sehingga tidak memenuhi ketentuan syarat kumulatif dari kerugian konstitusional warga negara atas suatu pasal undang-undang.
Di samping itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia menyampaikan keterangan melalui kuasa hukumnya, Adnial Roemza. Menurut AAJI, bilamana dikaitkan dengan prinsip asuransi syariah, di mana mengadopsi prinsip Tabarru' yakni sumbangan atau donasi yang dikumpulkan dari peserta asuransi untuk membantu sesama peserta yang mengalami musibah, maka demi terselenggaranya prinsip pengelolaan asuransi yang sehat, penanggung haruslah dihindarkan dari adanya penutupan pertanggungan yang mengandung keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal yang diketahui oleh si tertanggung. Bisa dibayangkan jika karena adanya pertanggungan yang dilandaskan adanya keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal yang diketahui oleh si tertanggung, di mana kemudian penanggung diharuskan untuk tetap melaksanakan pertanggungan tersebut sehingga menyebabkan berjalannya prinsip Tabarru’, maka dalam hal ini akan berdampak pada dana tabarru' yang merupakan hak nasabah peserta asuransi lainnya menjadi harus digunakan.
“Hal ini justru menjadi tidak berkeadilan serta malah menghilangkan perlindungan jaminan atas hak milik dan harta benda yang menjadi kepentingan nasabah peserta asuransi lainnya tersebut,” kata dia.
Adnial melanjutkan, menurut AAJI, Pasal 251 KUHD tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Terdapat Pasal 281 dan Pasal 282 KUHD memberikan keseimbangan kepada posisi tertanggung dan penanggung. Bahkan telah tersedia pula perangkat hukum di bidang perasuransian yang dikeluarkan oleh OJK khusus untuk memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan termasuk konsumen di sektor perasuransian dengan ketentuan sanksi tegas kepada penanggung (perusahaan asuransi).
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia yang diwakili kuasa hukumnya Ricardo Simanjuntak pun menyatakan tidak benar dan bertentangan dengan hukum bila pengertian kata “batal” berdasarkan Pasal 251 KUHD hanya dapat dilakukan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung karena secara jelas dasar dari tindakan pembatalan melekat pada ketentuan Pasal 1231 KUH Perdata yang bila tertanggung tidak mengakuinya atau menolaknya dapat mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Gugatan Sederhana, LAPS SJK, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Karena itu, para Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah agar kedudukan hukum Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima sekaligus menolak permohonan a quo untuk seluruhnya. Maka dari itu, mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 251 KUHD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga:
Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD
Ahli Waris Penerima Manfaat Asuransi Perbaiki Uji KUHD
DPR Tidak Hadir dan Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji KUHD Ditunda
Pemerintah Belum Siap Bacakan Keterangan dalam Sidang Uji UU Hukum Dagang
Pemerintah: Asas Iktikad Baik Jadi Prioritas Utama Perjanjian Asuransi
Sebagai informasi, Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 memberikan tiga alternatif penafsiran atau pemaknaan baru terhadap Pasal 251 UU KUHD.
Permohonan ini terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma yang terdapat dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya” atau “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tdak diadakan dengan syarat-syarat yang sama.
Menurut Pemohon, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. Ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri. Kelalaian dimaksud antara lain underwriting ulang atau seleksi risiko yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Underwriting sering kali kembali dilakukan bahkan hampir selalu dilakukan perusahaan asuransi apabila ahli waris mengajukan klaim atas nilai manfaat yang diperjanjikan dalam polis, hal ini sebagaimana dialami Pemohon pada saat mengajukan klaim ke Prudential. Tindakan perusahaan tersebut merupakan motif atau tricky untuk membatalkan polis atau setidak-tidaknya mengurangi nilai manfaat yang dapat diklaim sebagaimana dialami Pemohon. Motif itu seolah-olah sah di mata hukum karena berlakunya Pasal 251 KUHD.
Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu Pasal a quo sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikat terbaik (Utmost Good Faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan ini dibuat, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta. Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sopan Santun Meninggal, Uji KUHD Gugur
Sebelumnya, Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.
Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK Yuliana saat menyampaikan keterangannya pada sidang pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024, Senin (2/12/2024). Foto Humas/Bayu
Senin, 02 Desember 2024 | 06:57
Dibaca: 375
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pada Senin (2/12/2024). Agenda sidang Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 kali ini yakni mendengarkan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). OJK menyatakan ketentuan Pasal 251 KUHD dibuat karena perjanjian asuransi memerlukan kejujuran atau itikad baik dari para pihak dalam proses terjadinya perjanjian asuransi selama masa perjanjian dan pada saat terjadinya klaim.
“Karena itu, perjanjian asuransi disebut contract of uberrimae fidei (contract of the utmost good faith) yaitu perjanjian yang didasarkan pada asas kejujuran atau itikad paling baik,” ujar Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan OJK Yuliana di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Dia menjelaskan syarat sah perjanjian asuransi diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 250 KUHD, dan Pasal 251 KUHD. Pasal 251 KUHD memberikan beban atau mewajibkan kepada setiap orang calon tertanggung/pemegang polis untuk memberitahukan, dan menyampaikan semua keterangan, informasi, data, dan keadaan mengenai objek yang akan diasuransikan dan tidak membebankan kewajiban terhadap penanggung/perusahaan asuransi untuk mencari tahu sendiri semua keterangan, informasi, data, dan keadaan (fakta material) dari objek yang akan diasuransikan karena yang mengetahui kondisi semua hal tersebut adalah pihak yang akan mengasuransikan sebagai pemilik atau yang menguasai objek asuransi dan yang mempunyai insurable interest atas objek asuransi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara tertanggung dan penanggung dalam kontrak asuransi, di mana informasi asimetri (ketimpangan informasi) dapat diminimalisir sebagaimana ketentuan Pasal 251 KUHD.
Ketentuan dalam Pasal 251 KUHD memuat suatu asas kejujuran, itikad baik, atau transparansi yang fair dalam menyampaikan semua keterangan, informasi, data mengenai objek yang akan diasuransikan kepada penanggung/perusahaan asuransi. Selanjutnya, ketentuan Pasal 251 KUHD juga mewajibkan seseorang yang mau atau hendak mengasuransikan suatu objek asuransi supaya bersikap jujur, terbuka, tidak berbohong atau tidak menyembunyikan suatu keterangan, informasi, data dan keadaan yang mempengaruhi tingginya risiko yang telah diketahui oleh tertanggung/pemegang polis.
Keterangan, informasi, fakta, dan keadaan (fakta material) mengenai objek yang akan diasuransikan, yang diterima oleh penanggung, semuanya itu akan dipergunakan untuk melakukan penilaian terhadap risiko yang akan diterima atau diasuransikan kepadanya. Adapun proses penilaian risiko ini disebut dengan underwriting. Semua fakta material tersebut sangat penting bagi penanggung karena akan mempengaruhi sikap dan keputusan dari penanggung (prudent insurer) dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan dalam melakukan penerbitan polis untuk tertanggung, sebagai dasar untuk menentukan besar kecilnya premi yang akan dibayar oleh tertanggung/pemegang polis, serta menentukan analisis risiko.
“Berdasarkan hal-hal di atas, tanpa adanya Pasal 251 KUHD, maka akan sangat sulit bagi perusahaan asuransi untuk dapat menghitung secara layak risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi dan perhitungan premi asuransi yang harus dibayar oleh pemegang polis, sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap bisnis asuransi agar dapat dijalankan dan dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan berkelanjutan,” jelas Yuliana.
Di samping itu, dia mengatakan, Pemohon tidak dapat menunjukkan adanya kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal 251 KUHD serta tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi permohonan ini. Menurut OJK, sengketa yang dihadapi Pemohon yang menghendaki pembayaran penuh dari klaim asuransi merupakan sengketa keperdataan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi karena asuransi/pertanggungan didasarkan perjanjian asuransi yang dituangkan pada polis sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan bukanlah permasalahan konstitusional.
Yuliana melanjutkan, Pemohon pun belum menempuh jalur penyelesaian sengketa baik melalui Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) sekarang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) maupun mengajukan gugatan ke pengadilan. Dengan demikian, menurut OJK, dalil Pemohon dalam permohonan a quo yang mendalilkan adanya hak konstitusional Pemohon telah dirugikan/dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 251 KUHD adalah tidak berdasar hukum sehingga tidak memenuhi ketentuan syarat kumulatif dari kerugian konstitusional warga negara atas suatu pasal undang-undang.
Di samping itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia menyampaikan keterangan melalui kuasa hukumnya, Adnial Roemza. Menurut AAJI, bilamana dikaitkan dengan prinsip asuransi syariah, di mana mengadopsi prinsip Tabarru' yakni sumbangan atau donasi yang dikumpulkan dari peserta asuransi untuk membantu sesama peserta yang mengalami musibah, maka demi terselenggaranya prinsip pengelolaan asuransi yang sehat, penanggung haruslah dihindarkan dari adanya penutupan pertanggungan yang mengandung keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal yang diketahui oleh si tertanggung. Bisa dibayangkan jika karena adanya pertanggungan yang dilandaskan adanya keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal yang diketahui oleh si tertanggung, di mana kemudian penanggung diharuskan untuk tetap melaksanakan pertanggungan tersebut sehingga menyebabkan berjalannya prinsip Tabarru’, maka dalam hal ini akan berdampak pada dana tabarru' yang merupakan hak nasabah peserta asuransi lainnya menjadi harus digunakan.
“Hal ini justru menjadi tidak berkeadilan serta malah menghilangkan perlindungan jaminan atas hak milik dan harta benda yang menjadi kepentingan nasabah peserta asuransi lainnya tersebut,” kata dia.
Adnial melanjutkan, menurut AAJI, Pasal 251 KUHD tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Terdapat Pasal 281 dan Pasal 282 KUHD memberikan keseimbangan kepada posisi tertanggung dan penanggung. Bahkan telah tersedia pula perangkat hukum di bidang perasuransian yang dikeluarkan oleh OJK khusus untuk memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan termasuk konsumen di sektor perasuransian dengan ketentuan sanksi tegas kepada penanggung (perusahaan asuransi).
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia yang diwakili kuasa hukumnya Ricardo Simanjuntak pun menyatakan tidak benar dan bertentangan dengan hukum bila pengertian kata “batal” berdasarkan Pasal 251 KUHD hanya dapat dilakukan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung karena secara jelas dasar dari tindakan pembatalan melekat pada ketentuan Pasal 1231 KUH Perdata yang bila tertanggung tidak mengakuinya atau menolaknya dapat mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Gugatan Sederhana, LAPS SJK, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Karena itu, para Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah agar kedudukan hukum Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima sekaligus menolak permohonan a quo untuk seluruhnya. Maka dari itu, mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 251 KUHD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga:
Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD
Ahli Waris Penerima Manfaat Asuransi Perbaiki Uji KUHD
DPR Tidak Hadir dan Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji KUHD Ditunda
Pemerintah Belum Siap Bacakan Keterangan dalam Sidang Uji UU Hukum Dagang
Pemerintah: Asas Iktikad Baik Jadi Prioritas Utama Perjanjian Asuransi
Sebagai informasi, Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 memberikan tiga alternatif penafsiran atau pemaknaan baru terhadap Pasal 251 UU KUHD.
Permohonan ini terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma yang terdapat dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya” atau “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tdak diadakan dengan syarat-syarat yang sama.
Menurut Pemohon, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. Ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri. Kelalaian dimaksud antara lain underwriting ulang atau seleksi risiko yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Underwriting sering kali kembali dilakukan bahkan hampir selalu dilakukan perusahaan asuransi apabila ahli waris mengajukan klaim atas nilai manfaat yang diperjanjikan dalam polis, hal ini sebagaimana dialami Pemohon pada saat mengajukan klaim ke Prudential. Tindakan perusahaan tersebut merupakan motif atau tricky untuk membatalkan polis atau setidak-tidaknya mengurangi nilai manfaat yang dapat diklaim sebagaimana dialami Pemohon. Motif itu seolah-olah sah di mata hukum karena berlakunya Pasal 251 KUHD.
Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu Pasal a quo sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikat terbaik (Utmost Good Faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan ini dibuat, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta. Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sopan Santun Meninggal, Uji KUHD Gugur
Sebelumnya, Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.