Mode Suara
Jumat, 29 November 2024 | 07:29
Dilihat : 2122JAKARTA, HUMAS MKRI – Sikap Mahkamah sangat jelas dan tegas dalam hal ihwal sistem unbundling karena menyebabkan hilangnya hak penguasaan oleh negara adalah inkonstitusional. Sikap tersebut tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 111/PUU-XIII/2015. Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 39/PUU-XXI/2023 disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Jumat (29/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh 10 serikat pekerja, termasuk Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali, serta 109 pemohon perseorangan lainnya.
Saldi menambahkan Mahkamah menegaskan pendirian, sepanjang berkenaan dengan dalil Pemohon tentang konstitusionalitas Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 dan untuk menghilangkan keragu-raguan demi kesatuan tafsir dan pemahaman guna menjamin kepastian hukum, Mahkamah menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 bertentangan dengan UUD 1945 apabila rumusan Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 demikian diartikan sebagai dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
“Artinya, apabila norma Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 tersebut diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai sesuai prinsip ‘dikuasai oleh negara’ harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” urai Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Saldi mengungkapkan dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 10 ayat (2) dalam Pasal 42 angka 6 UU 6/2023 secara terang-terangan menghidupkan kembali kata "dapat" dalam norma Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 yang merupakan roh sistem unbundling yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah adalah dalil yang dapat dibenarkan.
“Oleh karena itu, kata ‘dapat’ dalam norma a quo harus dinyatakan bertentangan dengan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum,” tandas Saldi.
Keterlibatan DPR
Kemudian, para Pemohon menghendaki agar norma Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui persetujuan DPR RI”. Saldi menyampaikan bahwa MK menyatakan sebagai wujud kedaulatan rakyat dalam pengelolaan tenaga listrik sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara, keharusan melibatkan DPR makin tidak terelakkan karena UU 6/2023, sepertinya hanya menyandarkan keterlibatan DPR pada kebijakan energi nasional. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU 30/2007) pada intinya menyatakan bahwa kebijakan energi nasional ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sebagaimana diatur dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 30/2007, kebijakan energi nasional meliputi, antara lain ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional; prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi nasional; dan cadangan penyangga energi nasional.
“Dalam batas penalaran yang wajar, pengaturan dalam Pasal 11 ayat (1) UU 30/2007 dimaksud dapat dikatakan sangat umum dan menyandarkan keterlibatan DPR pada hal-hal yang lebih bersifat umum dalam RUKN potensial mengabaikan posisi listrik sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, persetujuan DPR dalam kebijakan energi nasional yang bersifat umum tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan kewajiban untuk melibatkan DPR dalam penyusunan RUKN,” papar Saldi.
Menurut MK, sambung Saldi, sekalipun tetap diperlukan peran atau keterlibatan DPR dalam RUKN, Mahkamah berpendapat tidak tepat pula bentuk keterlibatan DPR berupa “persetujuan”. Dalam hal ini, karena penetapan kebijakan energi nasional yang di dalamnya juga berkaitan dengan ketenagalistrikan, telah dilakukan melalui mekanisme persetujuan DPR, sehingga dalam RUKN keterlibatan DPR cukup berupa “pertimbangan”.
“Pendapat Mahkamah demikian didasarkan pada sudut pandang, proses untuk mendapatkan ‘pertimbangan’ lebih sederhana dibandingkan dengan proses mendapatkan ‘persetujuan’. Pertimbangan tersebut dibutuhkan untuk menjamin kesesuaian RUKN dengan kebijakan energi nasional. Oleh karena dalam kebijakan energi nasional, yang di dalamnya juga termasuk soal ketenagalistrikan, telah mensyaratkan adanya ‘persetujuan DPR’, maka dalam penyusunan RUKN yang merupakan esensi dari kebijakan ketenagalistrikan secara nasional sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 dalam Pasal 42 angka 1 UU 6/2023 yang tidak kalah pentingnya karena merupakan salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus tetap memerlukan ‘pertimbangan DPR’,” ujar Saldi saat mengucapkan pertimbangan hukum MK.
Sehingga, Saldi menyampaikan berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan norma Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 telah menghilangkan kewenangan DPR sebagai representasi rakyat dalam pengelolaan ketenagalistirikan sebagai salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara adalah dalil yang dapat diterima dan dibenarkan.
“Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan, dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandasnya.
Dalam amar putusan, MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang terkait ketenagalistrikan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan DPR RI’. Menyatakan kata ‘dapat’ pada norma Pasal 10 ayat (2) dalam Pasal 42 angka 6 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan a quo.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Dengar Keterangan Pemerintah soal Sistem “Unbundling” dalam UU Cipta Kerja
Konsep Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 Harus Dimaknai Secara Luas
Ahli Tidak Hadir, Sidang Uji UU Cipta Kerja Berakhir
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Kuasa Hukum para pemohon saat sidang pengucapan Putusan Nomor 39/PUU-XXI/2023, Jumat (29/11/2024). Foto Humas/Bayu
Jumat, 29 November 2024 | 07:29
Dibaca: 2122
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sikap Mahkamah sangat jelas dan tegas dalam hal ihwal sistem unbundling karena menyebabkan hilangnya hak penguasaan oleh negara adalah inkonstitusional. Sikap tersebut tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 111/PUU-XIII/2015. Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 39/PUU-XXI/2023 disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Jumat (29/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh 10 serikat pekerja, termasuk Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali, serta 109 pemohon perseorangan lainnya.
Saldi menambahkan Mahkamah menegaskan pendirian, sepanjang berkenaan dengan dalil Pemohon tentang konstitusionalitas Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 dan untuk menghilangkan keragu-raguan demi kesatuan tafsir dan pemahaman guna menjamin kepastian hukum, Mahkamah menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 bertentangan dengan UUD 1945 apabila rumusan Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 demikian diartikan sebagai dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
“Artinya, apabila norma Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 tersebut diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai sesuai prinsip ‘dikuasai oleh negara’ harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” urai Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Saldi mengungkapkan dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 10 ayat (2) dalam Pasal 42 angka 6 UU 6/2023 secara terang-terangan menghidupkan kembali kata "dapat" dalam norma Pasal 10 ayat (2) UU 30/2009 yang merupakan roh sistem unbundling yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah adalah dalil yang dapat dibenarkan.
“Oleh karena itu, kata ‘dapat’ dalam norma a quo harus dinyatakan bertentangan dengan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum,” tandas Saldi.
Keterlibatan DPR
Kemudian, para Pemohon menghendaki agar norma Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui persetujuan DPR RI”. Saldi menyampaikan bahwa MK menyatakan sebagai wujud kedaulatan rakyat dalam pengelolaan tenaga listrik sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara, keharusan melibatkan DPR makin tidak terelakkan karena UU 6/2023, sepertinya hanya menyandarkan keterlibatan DPR pada kebijakan energi nasional. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU 30/2007) pada intinya menyatakan bahwa kebijakan energi nasional ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sebagaimana diatur dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 30/2007, kebijakan energi nasional meliputi, antara lain ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional; prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi nasional; dan cadangan penyangga energi nasional.
“Dalam batas penalaran yang wajar, pengaturan dalam Pasal 11 ayat (1) UU 30/2007 dimaksud dapat dikatakan sangat umum dan menyandarkan keterlibatan DPR pada hal-hal yang lebih bersifat umum dalam RUKN potensial mengabaikan posisi listrik sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, persetujuan DPR dalam kebijakan energi nasional yang bersifat umum tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan kewajiban untuk melibatkan DPR dalam penyusunan RUKN,” papar Saldi.
Menurut MK, sambung Saldi, sekalipun tetap diperlukan peran atau keterlibatan DPR dalam RUKN, Mahkamah berpendapat tidak tepat pula bentuk keterlibatan DPR berupa “persetujuan”. Dalam hal ini, karena penetapan kebijakan energi nasional yang di dalamnya juga berkaitan dengan ketenagalistrikan, telah dilakukan melalui mekanisme persetujuan DPR, sehingga dalam RUKN keterlibatan DPR cukup berupa “pertimbangan”.
“Pendapat Mahkamah demikian didasarkan pada sudut pandang, proses untuk mendapatkan ‘pertimbangan’ lebih sederhana dibandingkan dengan proses mendapatkan ‘persetujuan’. Pertimbangan tersebut dibutuhkan untuk menjamin kesesuaian RUKN dengan kebijakan energi nasional. Oleh karena dalam kebijakan energi nasional, yang di dalamnya juga termasuk soal ketenagalistrikan, telah mensyaratkan adanya ‘persetujuan DPR’, maka dalam penyusunan RUKN yang merupakan esensi dari kebijakan ketenagalistrikan secara nasional sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 dalam Pasal 42 angka 1 UU 6/2023 yang tidak kalah pentingnya karena merupakan salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus tetap memerlukan ‘pertimbangan DPR’,” ujar Saldi saat mengucapkan pertimbangan hukum MK.
Sehingga, Saldi menyampaikan berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan norma Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 telah menghilangkan kewenangan DPR sebagai representasi rakyat dalam pengelolaan ketenagalistirikan sebagai salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara adalah dalil yang dapat diterima dan dibenarkan.
“Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan, dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandasnya.
Dalam amar putusan, MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang terkait ketenagalistrikan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan DPR RI’. Menyatakan kata ‘dapat’ pada norma Pasal 10 ayat (2) dalam Pasal 42 angka 6 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan a quo.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Dengar Keterangan Pemerintah soal Sistem “Unbundling” dalam UU Cipta Kerja
Konsep Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 Harus Dimaknai Secara Luas
Ahli Tidak Hadir, Sidang Uji UU Cipta Kerja Berakhir
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina