Mode Suara
Kamis, 21 Maret 2024 | 07:41
Dilihat : 14614530JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 dari permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah terkait dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang putusan tersebut dibacakan pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud "pasal karet" adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.
“Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,” ucap Arsul.
Menurut Mahkamah, lanjut Arsul, jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Oleh karena itu, dari telaahan makna kata “onar atau keonaran” dalam KBBI dimaksud, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal. Oleh karena itu, sambungnya, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” tambah Arsul.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Tidak Relevan
Kemudian Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang juga membacakan pertimbangan hukum menyampaikan Mahkamah menilai unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Kini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik. Hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
“Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam deng hukuman pidana,” terang Enny Nurbaningsih.
Selanjutnya, Mahkamah menilai unsur “kabar yang berkelebihan” merupakan pengulangan penerapan unsur “pemberitahuan bohong” yang esensinya sebenarnya sama. Hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping) dalam pengaturan norma Pasal 15 KUHP yang dapat menjadikan norma dimaksud mengandung sifat ambigu. Terlebih, Penjelasan pasal a quo tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga hal ini bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta). Dengan demikian, Enny menjelaskan pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 KUHP mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 KUHP.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dengan adanya rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkaitan dengan Inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum,” urai Enny.
Setelah dicermati materi muatan dari ketentuan Pasal 433 UU 1/2023 (KUHP Baru), menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dan unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP.
“Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas,” terang Enny.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo. Namun, oleh karena kesimpulan Mahkamah a quo bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, oleh karena itu dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayal (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sementara itu, permohonan para Pemohon terhadap pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 adalah kehilangan objek,” sebut Enny.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan Pemohon ini. Selain itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Haris Azhar saat mendengarkan sidang putusan dalam perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023, Kamis (21/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto Humas MK/Teguh
Kamis, 21 Maret 2024 | 07:41
Dibaca: 14614530
JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 dari permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah terkait dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang putusan tersebut dibacakan pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud "pasal karet" adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.
“Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,” ucap Arsul.
Menurut Mahkamah, lanjut Arsul, jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Oleh karena itu, dari telaahan makna kata “onar atau keonaran” dalam KBBI dimaksud, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal. Oleh karena itu, sambungnya, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” tambah Arsul.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Tidak Relevan
Kemudian Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang juga membacakan pertimbangan hukum menyampaikan Mahkamah menilai unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Kini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik. Hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
“Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam deng hukuman pidana,” terang Enny Nurbaningsih.
Selanjutnya, Mahkamah menilai unsur “kabar yang berkelebihan” merupakan pengulangan penerapan unsur “pemberitahuan bohong” yang esensinya sebenarnya sama. Hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping) dalam pengaturan norma Pasal 15 KUHP yang dapat menjadikan norma dimaksud mengandung sifat ambigu. Terlebih, Penjelasan pasal a quo tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga hal ini bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta). Dengan demikian, Enny menjelaskan pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 KUHP mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 KUHP.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dengan adanya rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkaitan dengan Inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum,” urai Enny.
Setelah dicermati materi muatan dari ketentuan Pasal 433 UU 1/2023 (KUHP Baru), menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dan unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP.
“Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas,” terang Enny.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo. Namun, oleh karena kesimpulan Mahkamah a quo bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, oleh karena itu dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayal (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sementara itu, permohonan para Pemohon terhadap pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 adalah kehilangan objek,” sebut Enny.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan Pemohon ini. Selain itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan