Mode Suara

Raziv Barokah (Tengah) menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya pada sidang panel pengujian Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Kamis (10/10) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Kamis, 10 Oktober 2024 | 08:35

Dibaca: 581

Jelang Pilkada Serentak 2024, Pemohon Minta Kotak Kosong Diatur UU Pilkada dan UU DKJ

JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan mengenai pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada). Para Pemohon meminta kotak kosong (blank vote) diakomodasi dalam tujuh pasal, lima pasal yang ada dalam UU Pilkada dan dua pasal lagi dalam UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

“Karena sebetulnya ketujuh pasal ini berbicara mengenai yang sama yaitu kami memohon agar blank vote diakomodir dalam seluruh pasal-pasal ini,” ujar salah satu Pemohon, Raziv Barokah (Pemohon III) dalam sidang perbaikan permohonan pada Kamis (10/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.

Dia menguraikan ketiadaan kotak kosong dalam desain surat suara yang diatur Pasal 79 ayat (1) UU Pilkada, ketiadaan kotak kosong dalam kategorisasi suara sah dalam Pasal 85 ayat (1) Pasal 94 UU Pilkada, serta ketiadaan blank vote dalam batas keterpilihan kepala daerah Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 UU Pilkada. Termasuk juga menjelaskan ketiadaan kotak kosong dalam batas keterpilihan kepala daerah untuk Provinsi Daerah Khusus Jakarta dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UU DKJ. Menurutnya, terdapat Pemohon yang merupakan warga Jakarta sehingga penting juga menguji pasal UU DKJ.

Sebagaimana nasihat para hakim konstitusi, para Pemohon menguraikan jalan keluar apabila kotak kosong memenangkan pemilihan. Raziv menyebutkan hal itu dapat diatasi sebagaimana pengalaman penerapan blank vote/kotak kosong dalam pemilihan yang diikuti hanya satu pasangan calon yang konsekuensinya adalah pemilihan ulang di tahun berikutnya apabila kotak kosong menang.

Jika blank vote menang kembali setelah pemilihan ulang tersebut, para Pemohon menggunakan praktik yang pernah terjadi pada pemilihan ulang wali kota di Kolombia pada 2011. Raziv mengatakan, terjadi rekonfigurasi dukungan partai politik pada pemilihan ulang tersebut, sehingga pada pemilihan ulang yang terpilih bukan blank vote lagi tetapi pasangan calon yang dianggap lebih mempresentasikan kehendak masyarakat umum.

Hal yang sama juga terjadi pada Pemilihan Walikota Makassar pada 2018 lalu. Pemilihan dimenangkan kotak kosong yang melawan calon tunggal. Pada pemilihan ulang di tahun berikutnya, Raziv menyebutkan rekonfigurasi politik yang sangat tinggi sehingga pada pemilihan ulang terdapat empat pasangan calon yang diramaikan dengan figur-figur yang memiliki elektabilitas tinggi.

“Figur-figur yang memiliki elektabilitas tinggi yang sebelumnya gagal berkontestasi, bahkan di pemilihan ulang itu berhasil memenangkan pilkada ulang tersebut. Jadi secara praktik sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan bahwa akan terjadi kondisi di mana berkali-kali blank vote menang sehingga tidak menghasilkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat,” jelas Raziv.

Dia melanjutkan, jikapun blank vote menang berkali-kali dalam pemilihan ulang, maka bagi para Pemohon hal tersebut merupakan harga yang harus dibayar oleh pemangku kepentingan karena tidak mampu bekali-kali menyerap aspirasi atau hal yang dikehendaki masyarakat secara umum. Namun, para Pemohon meyakini hal itu akan minim terjadi.

Baca juga: Pemohon Ingin Kotak Kosong Bisa Dipilih Meski Ada Dua Pasangan Calon Kepala Daerah

Para Pemohon perkara ini adalah Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III). Menurut para Pemohon, pemilihan kandidat pasangan calon kepala daerah yang diusung saat ini tidak memperhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elite partai politik. Para Pemohon menguraikan, bakal pasangan calon kepala daerah di sejumlah wilayah tidak diusung untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan penguasa. Bahkan, karena koalisi gemuk tersebut dibentuk mengakibatkan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah, sehingga akan ada pertarungan melawan kotak kosong.

Namun, para Pemohon menginginkan konsep blank vote atau yang lebih dikenal kotak kosong berlaku juga atas daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah. Hal ini sebagai bentuk penolakan pemilih untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang ada.

Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih padangan calon dan menyatakan suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seperti yang dimohonkan para Pemohon untuk mengakomodasi ketentuan blank vote dalam pemilihan yang juga diikuti lebih dari satu pasangan calon.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan