Mode Suara
Kamis, 17 Oktober 2024 | 03:49
Dilihat : 329JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta A. Fahrur Rozi mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Pemohon, telah terjadi fenomena dominasi kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power), relasi konspiratif kelembagaan, dan kebijakan pada masa transisi (lame duck session) dalam sejumlah pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tiga fenomena tersebut secara simultan dapat dijumpai dari tren pembentukan undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prose spembentukannya. Fenomena tersebut sangat tampak pada proses pembentukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), RUU Kementerian Negara, dan RUU Keimigrasian yang berjalan dalam waktu singkat dan tanpa pelibatan partisipasi masyarakat secara berarti,” ujar Fahrur dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 144/PUU-XXII/2024 pada Kamis (17/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan president’s legislative power merupakan kekuasaan presiden yang dilakukan di bidang lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia, Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 memang mengatribusikan sebagian kewenangan dalam pembentukan undang-undang kepada presiden. Belakangan, penggunaan president’s legislative power mengalami dominasi yang cukup signifikan dalam menentukan pola legislasi di parlemen. Terdapat dominasi luar biasa yang dilakukan oleh presiden dalam arah proses legislasi selama ini. Hal ini tampak dari sejumlah revisi undang-undang yang menyangkut kewenangan presiden justru menjadi rancangan undang-undang hasil inisiatif DPR, in casu RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara.
Menurut Pemohon, praktik president’s legislative power semacam ini dianggap jelas-jelas menyimpangi prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan yang digagas sebagai pengelolaan kekuasaan negara yang demokratis. Peran dominan presiden dalam legislasi alih-alih mendapat reaksi penolakan dari parlemen yang kewenangannya diekspansi untuk menfasilitasi agenda dan kepentingan presiden, justru mendapat dorongan dan dukungan penuh dari parlemen. Alih-alih kritis, DPR cenderung akomodatif dengan kepentingan pemerintah, in casu menginisiasi RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara yang memberikan kewenangan penuh kepada presiden dalam menentukan jumlah kementerian dan anggota wantimpres.
Dalam ketentuan subjek, pasal a quo yang diuji konstitusionalitasnya memberikan batasan hak partisipasi hanya berlaku bagi masyarakat “yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan” atas materi muatan yang dibahas. Ketentuan tersebut membawa konsekuensi bagi terbentuknya keterbatasan hak bagi masyarakat yang ingin ikut serta terlibat atau memiliki perhatian (concern) dalam suatu proses pembentukan peraturan perundangundangan
Dalam penalaran yang wajar, Fahrur mengatakan jaminan hak partisipasi masayarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan dengan berlakunya pasal a quo tidak dijamin secara utuh dan menyeluruh. Pasalnya, terdapat kualifikasi-kualifikasi yang dibentuk dari ketentuan a quo untuk mengukur apakah perseorangan warga negara atau kelompok masyarakat cukup memiliki kedudukan hukum untuk memajukan diri dalam rangka memperjuangkan hak kolektif masyarakat.
Sebagai konsekuensi logis dari ketentuan pasal a quo, jaminan hak partisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terbatas atau tidak menyeluruh. Perseorangan warga negara atau kelompok masyarakat yang ingin memajukan diri untuk memperjuangkan haknya atau mengeluarkan pikirannya pada suatu proses pembentukan perundang-undangan haruslah terlebih dahulu terdampak langsung atau memiliki kepentingan terhadap materi muatan di dalamnya.
Selain itu, Pemohon juga mejelaskan konsep dan fenomena kebijakan pada masa transisi atau lame duck session. Istilah lame duck session sendiri digunakan untuk menyebut suatu kondisi di mana masa jabatan pemerintah saat ini akan segera berakhir dan penggantinya telah dipilih atau kondisi di mana pemerintah saat ini masih menjabat sehabis pelaksanaan pemilihan umum. Kekhawatiran utama tentang kondisi lame duck ini adalah suatu kondisi yang tidak demokratis untuk memberlakukan undang-undang baru atau mengambil tindakan lain yang mengikat secara hukum karena rakyat telah memilih orang lain untuk mewakili mereka (Copeland Nagle, 2012).
Pemohon mencermati fenomena belakangan, persoalan yang biasa terjadi pada masa transisi ini (lame duck) di antaranya adalah aktivitas legislasi DPR yang tiba-tiba meningkat pesat di akhir masa jabatannya. Adanya peningkatan aktivitas dalam proses legislasi tersebut ditandai bukan saja dengan meningkatnya kegiatan legislasi yang tinggi, namun juiga akan menuai berbagai macam kontroversi jika ditelaah lebih jauh mengenai substansi yang dihasilkan. Dari segi peningkatan produktivitas kegiatan legislasi, DPR menjadi tiba-tiba sangat produktif jika dibandingkan hampir lima tahun masa bakti yang sudah dijalaninya.
Menariknya, Pemohon mengutip Fitria Asril bahwa peningkatan produktivitas ini terjadi pada masa-masa sidang terakhir menjelang pelantikan anggota baru atau dapat disebut sebagai masa transisi, karena anggota baru sudah terpilih secara definitif namun belum dilantik. Akibatnya, kondisi ini mengakibatkan fungsi kontrol parlemen menjadi semakin melemah dan fungsi legislasi menjadi ekstra optimal. Dia menyebut terdapat sejumlah undang-undang yang disahkan pada masa lame duck, misalnya UU Nomor 17 Tahun 2014 (periode 2009-2014), UU Nomor 19 Tahun 2019 (periode 2014-2019), serta UU tentang Wantimpres dan UU Nomor 39 Tahun 2008 (periode 2019-2024).
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “dan/atau mempunyai kepentingan” pada Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dan/atau memiliki perhatian (concern)”, menyatakan frasa “atas materi muatan” pada Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula aspek formil”; serta menyatakan frasa “yang terdaftar di kementerian yang berwenang” pada penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang memiliki perhatian (concern)”.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Menurut Enny, Pemohon seharusnya memahami secara utuh mengenai rumusan partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan agar permohonan ini saling berkaitan satu sama lain sampai ke petitum.
“Mudah nanti Saudara menguraikan bagaimana ini pertentangannya antara yang Saudara mohonkan itu dengan Undang-Undang Dasar. Kenapa? Ini sebetulnya ada kaitan Pasal 96 ini kan dengan Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020 pada waktu MK menguji Undang-Undang Ciptaker itu,” kata Enny.
Menurut dia, petitum yang dimohonkan perlu untuk dipertimbangkan kembali oleh Pemohon. “Coba Anda pertimbangkan kemudian pikirkan kalau ini kemudian dimaknai seperti ini itu bagaimana konteks norma utuhnya, itu yang harus dipertimbangkan di dalam petitum,” ucap Enny.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada Rabu, 30 Oktober 2024.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina
Fahrur Rozi saat sidang pengujian materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kamis (17/10/2024). Foto Humas/Bayu
Kamis, 17 Oktober 2024 | 03:49
Dibaca: 329
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta A. Fahrur Rozi mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Pemohon, telah terjadi fenomena dominasi kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power), relasi konspiratif kelembagaan, dan kebijakan pada masa transisi (lame duck session) dalam sejumlah pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tiga fenomena tersebut secara simultan dapat dijumpai dari tren pembentukan undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prose spembentukannya. Fenomena tersebut sangat tampak pada proses pembentukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), RUU Kementerian Negara, dan RUU Keimigrasian yang berjalan dalam waktu singkat dan tanpa pelibatan partisipasi masyarakat secara berarti,” ujar Fahrur dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 144/PUU-XXII/2024 pada Kamis (17/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan president’s legislative power merupakan kekuasaan presiden yang dilakukan di bidang lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia, Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 memang mengatribusikan sebagian kewenangan dalam pembentukan undang-undang kepada presiden. Belakangan, penggunaan president’s legislative power mengalami dominasi yang cukup signifikan dalam menentukan pola legislasi di parlemen. Terdapat dominasi luar biasa yang dilakukan oleh presiden dalam arah proses legislasi selama ini. Hal ini tampak dari sejumlah revisi undang-undang yang menyangkut kewenangan presiden justru menjadi rancangan undang-undang hasil inisiatif DPR, in casu RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara.
Menurut Pemohon, praktik president’s legislative power semacam ini dianggap jelas-jelas menyimpangi prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan yang digagas sebagai pengelolaan kekuasaan negara yang demokratis. Peran dominan presiden dalam legislasi alih-alih mendapat reaksi penolakan dari parlemen yang kewenangannya diekspansi untuk menfasilitasi agenda dan kepentingan presiden, justru mendapat dorongan dan dukungan penuh dari parlemen. Alih-alih kritis, DPR cenderung akomodatif dengan kepentingan pemerintah, in casu menginisiasi RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara yang memberikan kewenangan penuh kepada presiden dalam menentukan jumlah kementerian dan anggota wantimpres.
Dalam ketentuan subjek, pasal a quo yang diuji konstitusionalitasnya memberikan batasan hak partisipasi hanya berlaku bagi masyarakat “yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan” atas materi muatan yang dibahas. Ketentuan tersebut membawa konsekuensi bagi terbentuknya keterbatasan hak bagi masyarakat yang ingin ikut serta terlibat atau memiliki perhatian (concern) dalam suatu proses pembentukan peraturan perundangundangan
Dalam penalaran yang wajar, Fahrur mengatakan jaminan hak partisipasi masayarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan dengan berlakunya pasal a quo tidak dijamin secara utuh dan menyeluruh. Pasalnya, terdapat kualifikasi-kualifikasi yang dibentuk dari ketentuan a quo untuk mengukur apakah perseorangan warga negara atau kelompok masyarakat cukup memiliki kedudukan hukum untuk memajukan diri dalam rangka memperjuangkan hak kolektif masyarakat.
Sebagai konsekuensi logis dari ketentuan pasal a quo, jaminan hak partisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terbatas atau tidak menyeluruh. Perseorangan warga negara atau kelompok masyarakat yang ingin memajukan diri untuk memperjuangkan haknya atau mengeluarkan pikirannya pada suatu proses pembentukan perundang-undangan haruslah terlebih dahulu terdampak langsung atau memiliki kepentingan terhadap materi muatan di dalamnya.
Selain itu, Pemohon juga mejelaskan konsep dan fenomena kebijakan pada masa transisi atau lame duck session. Istilah lame duck session sendiri digunakan untuk menyebut suatu kondisi di mana masa jabatan pemerintah saat ini akan segera berakhir dan penggantinya telah dipilih atau kondisi di mana pemerintah saat ini masih menjabat sehabis pelaksanaan pemilihan umum. Kekhawatiran utama tentang kondisi lame duck ini adalah suatu kondisi yang tidak demokratis untuk memberlakukan undang-undang baru atau mengambil tindakan lain yang mengikat secara hukum karena rakyat telah memilih orang lain untuk mewakili mereka (Copeland Nagle, 2012).
Pemohon mencermati fenomena belakangan, persoalan yang biasa terjadi pada masa transisi ini (lame duck) di antaranya adalah aktivitas legislasi DPR yang tiba-tiba meningkat pesat di akhir masa jabatannya. Adanya peningkatan aktivitas dalam proses legislasi tersebut ditandai bukan saja dengan meningkatnya kegiatan legislasi yang tinggi, namun juiga akan menuai berbagai macam kontroversi jika ditelaah lebih jauh mengenai substansi yang dihasilkan. Dari segi peningkatan produktivitas kegiatan legislasi, DPR menjadi tiba-tiba sangat produktif jika dibandingkan hampir lima tahun masa bakti yang sudah dijalaninya.
Menariknya, Pemohon mengutip Fitria Asril bahwa peningkatan produktivitas ini terjadi pada masa-masa sidang terakhir menjelang pelantikan anggota baru atau dapat disebut sebagai masa transisi, karena anggota baru sudah terpilih secara definitif namun belum dilantik. Akibatnya, kondisi ini mengakibatkan fungsi kontrol parlemen menjadi semakin melemah dan fungsi legislasi menjadi ekstra optimal. Dia menyebut terdapat sejumlah undang-undang yang disahkan pada masa lame duck, misalnya UU Nomor 17 Tahun 2014 (periode 2009-2014), UU Nomor 19 Tahun 2019 (periode 2014-2019), serta UU tentang Wantimpres dan UU Nomor 39 Tahun 2008 (periode 2019-2024).
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “dan/atau mempunyai kepentingan” pada Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dan/atau memiliki perhatian (concern)”, menyatakan frasa “atas materi muatan” pada Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula aspek formil”; serta menyatakan frasa “yang terdaftar di kementerian yang berwenang” pada penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang memiliki perhatian (concern)”.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Menurut Enny, Pemohon seharusnya memahami secara utuh mengenai rumusan partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan agar permohonan ini saling berkaitan satu sama lain sampai ke petitum.
“Mudah nanti Saudara menguraikan bagaimana ini pertentangannya antara yang Saudara mohonkan itu dengan Undang-Undang Dasar. Kenapa? Ini sebetulnya ada kaitan Pasal 96 ini kan dengan Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020 pada waktu MK menguji Undang-Undang Ciptaker itu,” kata Enny.
Menurut dia, petitum yang dimohonkan perlu untuk dipertimbangkan kembali oleh Pemohon. “Coba Anda pertimbangkan kemudian pikirkan kalau ini kemudian dimaknai seperti ini itu bagaimana konteks norma utuhnya, itu yang harus dipertimbangkan di dalam petitum,” ucap Enny.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada Rabu, 30 Oktober 2024.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina