Mode Suara
Kamis, 03 Oktober 2024 | 07:11
Dilihat : 149JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga Pemohon perorangan yang bernama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai PNS.
Saur Panjaitan mewakili Badan Musyawarah Pendidikan Swasta atau BMPS) dalam persidangan menyampaikan BMPS berkeberatan jika sekolah swasta dilarang memungut biaya dari masyarakat. Dengan demikian, sambung Saur, BMPS menolak permohonan terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar minimal pada Jenjang Pendidikan Dasar dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya”.
Dikatakan Saur, apabila permohonan gugatan ini dikabulkan, sementara selama ini sekolah swasta baru disubsidi Pemerintah melalui dana BOS, Sertifikasi Guru, dan lainnya, baru sekitar 15% dari biaya operasionalnya, maka BMPS merkomendasikan peningkatan subsidi. Selain itu, BMPS merekomendasikan agar segera seluruh guru-guru swasta diberikan tunjangan sertifikasi guru, tidak hanya untuk guru-guru yang mengajar di pendidikan dasar akan tetapi juga yang mengajar di pendidikan menengah. Rekomendasi kedua terkait sertifikasi guru, tidak kalah pentingnya, adalah peningkatan jumlah besaran Tunjangan Sertifikasi Guru.
“BMPS mengusulkan, tidak membeda-bedakan di mana siswa itu bersekolah, tetapi melihat kondisi kemampuan keuangannya, misalnya dikategorikan menjadi 3 kelompok yakni kelompok 1 dibiayai penuh oleh pemerintah, kelompok 2 disubsidi sebagian oleh pemerintah dan kelompok 3 tidak disubsidi oleh pemerintah, bahkan berkontribusi penuh/ berbayar dimanapun bersekolah baik di swasta maupun di sekolah negeri,” sebutnya.
Kemudian, ia juga meminta kebijakan Pemerintah untuk dikaji ulang salah satuya mengenai persoalan utama dalam pengelolaan sekolah swasta terkait pembiayaan dimulai dari proses penerimaan peserta didik baru (PPDB), dimana terdapat kebijakan yang membuat sekolah swasta kesulitan untuk membuat perencanaan pembiayaannya karena sangat dipengaruhi jumlah siswa yang diterimanya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, BMPS mengusulkan agar dapat juga dihubungkan permasalahan pembiayaan di sekolah swasta dengan kebijakan PPDB. Oleh karena itu BMPS mengusulakan agar dalam setiap PPDB, pemerintah memperhitungkan dan melibatkan daya tampung pada jenjang pendidikan Dasar (SD dan SMP) sekolah swasta.
Saur juga meminta guru-guru ASN tetap bertugas di sekolah swasta karena guru merupakan salah satu variabel penting dalam pelaksanaan pendidikan, maka BMPS merekomendasikan agar Pemerintah wajib membantu sekolah swasta dengan menempatkan guru-guru ASN sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana halnya dengan di perguruan Tinggi (Dosen DPK) dan atau guru-guru yang diangkat menjadi P3K yang berasal dari sekolah swasta tetap dikembalikan ke sekolah swasta (Guru yang diperbantukan).
Dalam kesempatan yang sama, Harianto Oghie mewakili Lembaga Pendidikan Ma'arif NU PBNU (LP Ma’arif NU) menyampaikan kebijakan pendidikan gratis dengan tidak memungut biaya dari siswa dan tanpa dukungan biaya yang optimal dari pemerintah dapat mengancam keberlanjutan sistem pendidikan, terutama bagi sekolah-sekolah swasta, serta dapat merusak kualitas pendidikan secara umum. Solusi yang lebih baik adalah memastikan subsidi yang memadai dan pengaturan yang adil antara pendidikan negeri dan swasta, agar kualitas dan keberlanjutan pendidikan tetap terjaga.
Oleh karena itu, LP Ma'arif NU mengusulkan agar pemerintah optimalisasi subsidi pendidikan oleh pemerintah kepada siswa-siswa yang tidak mampu secara ekonomi, terutama di sekolah swasta, sesuai dengan Pasal 46 ayat 1 UU 20/2003 yang menyatakan “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Dengan demikian, prinsip keadilan sosial tetap terjaga, tanpa mengorbankan keberlanjutan dan kualitas pendidikan di lembaga swasta.
“Kemudian, mengembangkan dan menyediakan standar biaya operasional pendidikan yang ideal untuk memastikan sekolah negeri maupun swasta dapat beroperasi dengan baik melalui penyediaan pendidikan yang berkualitas. Dengan demikian, tidak ada ketimpangan pembiayaan pendidikan antar sekolah, baik negeri atau swasta,” terang Harianto.
Ia juga meminta kehadiran negara dalam bentuk pemberian subsidi kepada sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah sangat penting dan vital, agar anggaran sekolah swasta tersebut tercukupi, pendidikan berjalan dengan baik, guru lebih profesional, dan biayanya terjangkau masyarakat, atau bahkan bisa memberikan biaya gratis bagi sebagian masyarakat.
Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus dapat mengatasi persoalan akses, pemerataan dan kualitas pendidikan. Namun kebijakannya tidak bisa fit to all, harus ada perbedaan pendekatan kebijakan pendidikan yang proporsional. Kehadiran sekolah LP Ma'arif NU di daerah marginal, sebagai contoh, adalah untuk menjawab persoalan akses. Keberadaan sekolah LP Ma'arif NU di daerah kategori tertinggal dan marginal ini tentu tidak mungkin meminta biaya dari masyarakat. Sebaliknya permintaan kontribusi masyarakat pada pembiayaan sekolah-sekolah swasta yang berada di wilayah tidak marginal adalah wajar dan boleh agar kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dapat terpenuhi dan kualitasnya tetap terjaga.
Selain subsidi biaya pendidikan, sambung Harianto, pemerintah harus mempertahankan guru sekolah swasta yang diangkat sebagai guru PPPK atau guru PNS untuk tetap bertugas di sekolah/ madrasah swasta asalnya sebelum diangkat, bukan dipindah ke sekolah/ madrasah negeri, agar sekolah madrasah swasta tersebut semakin maju dan anggaran biaya penyelenggaraan yang dibebankan kepada masyarakat juga berkurang.
Baca juga:
JPPI Minta Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Bebas Biaya
JPPI Tambahkan Perbandingan Sekolah Dasar Swasta Gratis dari Berbagai Negara
DPR: Negara Tetap Butuh Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Pemerintah: Biaya Pendidikan Dasar Sudah Sesuai UUD 1945
Negara Terlihat Mulai Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan
Bappenas: Pemerintah Komitmen Penuh Menyelenggarakan Wajib Belajar Berkualitas
Pemerintah Pusat Seharusnya Menanggung Pendidikan Dasar Bagi Seluruh Warga Negara
Pengaturan yang Adil bagi Sekolah Negeri dan Swasta untuk Menjaga Kualitas Pendidikan
Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Sebelumnya, para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina
Saur Panjaitan mewakili Badan Musyawarah Pendidikan Swasta menyampaikan keterangan pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kamis (03/10) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Kamis, 03 Oktober 2024 | 07:11
Dibaca: 149
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga Pemohon perorangan yang bernama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai PNS.
Saur Panjaitan mewakili Badan Musyawarah Pendidikan Swasta atau BMPS) dalam persidangan menyampaikan BMPS berkeberatan jika sekolah swasta dilarang memungut biaya dari masyarakat. Dengan demikian, sambung Saur, BMPS menolak permohonan terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar minimal pada Jenjang Pendidikan Dasar dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya”.
Dikatakan Saur, apabila permohonan gugatan ini dikabulkan, sementara selama ini sekolah swasta baru disubsidi Pemerintah melalui dana BOS, Sertifikasi Guru, dan lainnya, baru sekitar 15% dari biaya operasionalnya, maka BMPS merkomendasikan peningkatan subsidi. Selain itu, BMPS merekomendasikan agar segera seluruh guru-guru swasta diberikan tunjangan sertifikasi guru, tidak hanya untuk guru-guru yang mengajar di pendidikan dasar akan tetapi juga yang mengajar di pendidikan menengah. Rekomendasi kedua terkait sertifikasi guru, tidak kalah pentingnya, adalah peningkatan jumlah besaran Tunjangan Sertifikasi Guru.
“BMPS mengusulkan, tidak membeda-bedakan di mana siswa itu bersekolah, tetapi melihat kondisi kemampuan keuangannya, misalnya dikategorikan menjadi 3 kelompok yakni kelompok 1 dibiayai penuh oleh pemerintah, kelompok 2 disubsidi sebagian oleh pemerintah dan kelompok 3 tidak disubsidi oleh pemerintah, bahkan berkontribusi penuh/ berbayar dimanapun bersekolah baik di swasta maupun di sekolah negeri,” sebutnya.
Kemudian, ia juga meminta kebijakan Pemerintah untuk dikaji ulang salah satuya mengenai persoalan utama dalam pengelolaan sekolah swasta terkait pembiayaan dimulai dari proses penerimaan peserta didik baru (PPDB), dimana terdapat kebijakan yang membuat sekolah swasta kesulitan untuk membuat perencanaan pembiayaannya karena sangat dipengaruhi jumlah siswa yang diterimanya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, BMPS mengusulkan agar dapat juga dihubungkan permasalahan pembiayaan di sekolah swasta dengan kebijakan PPDB. Oleh karena itu BMPS mengusulakan agar dalam setiap PPDB, pemerintah memperhitungkan dan melibatkan daya tampung pada jenjang pendidikan Dasar (SD dan SMP) sekolah swasta.
Saur juga meminta guru-guru ASN tetap bertugas di sekolah swasta karena guru merupakan salah satu variabel penting dalam pelaksanaan pendidikan, maka BMPS merekomendasikan agar Pemerintah wajib membantu sekolah swasta dengan menempatkan guru-guru ASN sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana halnya dengan di perguruan Tinggi (Dosen DPK) dan atau guru-guru yang diangkat menjadi P3K yang berasal dari sekolah swasta tetap dikembalikan ke sekolah swasta (Guru yang diperbantukan).
Dalam kesempatan yang sama, Harianto Oghie mewakili Lembaga Pendidikan Ma'arif NU PBNU (LP Ma’arif NU) menyampaikan kebijakan pendidikan gratis dengan tidak memungut biaya dari siswa dan tanpa dukungan biaya yang optimal dari pemerintah dapat mengancam keberlanjutan sistem pendidikan, terutama bagi sekolah-sekolah swasta, serta dapat merusak kualitas pendidikan secara umum. Solusi yang lebih baik adalah memastikan subsidi yang memadai dan pengaturan yang adil antara pendidikan negeri dan swasta, agar kualitas dan keberlanjutan pendidikan tetap terjaga.
Oleh karena itu, LP Ma'arif NU mengusulkan agar pemerintah optimalisasi subsidi pendidikan oleh pemerintah kepada siswa-siswa yang tidak mampu secara ekonomi, terutama di sekolah swasta, sesuai dengan Pasal 46 ayat 1 UU 20/2003 yang menyatakan “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Dengan demikian, prinsip keadilan sosial tetap terjaga, tanpa mengorbankan keberlanjutan dan kualitas pendidikan di lembaga swasta.
“Kemudian, mengembangkan dan menyediakan standar biaya operasional pendidikan yang ideal untuk memastikan sekolah negeri maupun swasta dapat beroperasi dengan baik melalui penyediaan pendidikan yang berkualitas. Dengan demikian, tidak ada ketimpangan pembiayaan pendidikan antar sekolah, baik negeri atau swasta,” terang Harianto.
Ia juga meminta kehadiran negara dalam bentuk pemberian subsidi kepada sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah sangat penting dan vital, agar anggaran sekolah swasta tersebut tercukupi, pendidikan berjalan dengan baik, guru lebih profesional, dan biayanya terjangkau masyarakat, atau bahkan bisa memberikan biaya gratis bagi sebagian masyarakat.
Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus dapat mengatasi persoalan akses, pemerataan dan kualitas pendidikan. Namun kebijakannya tidak bisa fit to all, harus ada perbedaan pendekatan kebijakan pendidikan yang proporsional. Kehadiran sekolah LP Ma'arif NU di daerah marginal, sebagai contoh, adalah untuk menjawab persoalan akses. Keberadaan sekolah LP Ma'arif NU di daerah kategori tertinggal dan marginal ini tentu tidak mungkin meminta biaya dari masyarakat. Sebaliknya permintaan kontribusi masyarakat pada pembiayaan sekolah-sekolah swasta yang berada di wilayah tidak marginal adalah wajar dan boleh agar kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dapat terpenuhi dan kualitasnya tetap terjaga.
Selain subsidi biaya pendidikan, sambung Harianto, pemerintah harus mempertahankan guru sekolah swasta yang diangkat sebagai guru PPPK atau guru PNS untuk tetap bertugas di sekolah/ madrasah swasta asalnya sebelum diangkat, bukan dipindah ke sekolah/ madrasah negeri, agar sekolah madrasah swasta tersebut semakin maju dan anggaran biaya penyelenggaraan yang dibebankan kepada masyarakat juga berkurang.
Baca juga:
JPPI Minta Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Bebas Biaya
JPPI Tambahkan Perbandingan Sekolah Dasar Swasta Gratis dari Berbagai Negara
DPR: Negara Tetap Butuh Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Pemerintah: Biaya Pendidikan Dasar Sudah Sesuai UUD 1945
Negara Terlihat Mulai Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan
Bappenas: Pemerintah Komitmen Penuh Menyelenggarakan Wajib Belajar Berkualitas
Pemerintah Pusat Seharusnya Menanggung Pendidikan Dasar Bagi Seluruh Warga Negara
Pengaturan yang Adil bagi Sekolah Negeri dan Swasta untuk Menjaga Kualitas Pendidikan
Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Sebelumnya, para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina