Mode Suara

Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Indonesia Sandra Aulia selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon. Foto: Humas/Panji

Rabu, 28 Agustus 2024 | 08:06

Dibaca: 227

Ahli: Efek Domino Tarif PBJT 40 – 75 Persen Hingga Menyumbang Pengangguran

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pleno Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, 31/PUU-XXII/2024, dan 32/PUU-XXII/2024 secara sekaligus mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Kali ini, Mahkamah mengagendakan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi/ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dan 32/PUU-XXII/2024.

Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 adalah Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Indonesia Sandra Aulia serta Ahli Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan. Sandra mengatakan, kebijakan batas tarif minimum Pajak Barang dan/atau Jasa (PBJT) yang diatur dalam UU HKPD sebagaimana pasal yang diuji para Pemohon menimbulkan efek domino hingga menyebabkan bertambahnya pengangguran.

“Efek dominonya akan banyak multiplier effect-nya (efek berganda), misalnya penjualannya berkurang tapi beban-beban yang harus ditanggung tetap ada. Misalnya kalau kita break down, di-fix cost, variable cost itu tetap harus ditanggung. Fix cost kita kurangi karena penjualan berkurang sehingga ketika fix cost-nya dikurangi ya berarti ketika punya karyawan, karyawannya di-layoff (pemutusan hubungan kerja karyawan) gitu, sehingga efeknya adalah ya mungkin kita akan menyumbang pengangguran kalau dari sisi multiplier effect,” ujar Sandra di hadapan delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Rabu (28/8/2024).

Sandra melanjutkan, ketika variable cost-nya yang berkurang, maka multiplier effect-nya berpengaruh terhadap rantai pasok seperti rempah-rempah yang digunakan dalam usaha SPA. Sehingga, menurut dia, dengan pengenaan tarif pajak terendah 40 persen, maka multiplier effect yang ditimbulkan dapat lebih dari 40 persen.

Sandra juga mempertanyakan dasar atas pengelompokkan dan tarif yang dikenakan. Menurutnya, kebijakan pengenaan tarif PBJT terhadap jasa hiburan tidak melibatkan partisipasi masyarakat, stakeholder, serta mengabaikan prinsip-prinsip kebijakan publik atau kebijakan pajak yang baik, termasuk juga tanpa adanya sinkronisasi kebijakan daerah yang optimal, fungsi pajak sebagai sosial, politik, dan ekonomi teknik, serta justifikasi penerapan asas keadilan/netralitas.

Dengan demikian, Sandra merekomendasikan agar kebijakan PBJT atas hiburan perlu dikaji kembali dasar penetapan tarifnya dengan melibatkan stakeholders terkait dan didukung dengan naskah akademik melalui kajian analisis terhadap implikasinya atas kehidupan masyarakat dan negara. Selain itu, Sandra menuturkan kategorisasi dan ketidaksesuaian pemungutan PBJT atas jasa hiburan karena SPA termasuk jenis pelayanan kesehatan yang tradisional yang diatur Undang-Undang Kesehatan sehingga kebijakan dan regulasi PBJT atas SPA perlu diselaraskan dengan kebijakan lainnya. Kemudian, kebijakan pemungutan perpajakan atas jasa hiburan perlu dirumuskan secara komprehensif holistik dan imparsial dengan mempertimbangkan multiplier effect, baik secara ekonomi maupun sosial.

Sedankan Djohermansyah berpendapat, Pasal 58 ayat (2) UU HKPD terkait penetapan tarif PBJT terhadap lima jasa hiburan telah mencederai konstitusi dan juga melemahkan otonomi daerah yang menjadi reformasi sehingga layak dibatalkan oleh MK. Sementara, pemberian insentif fiskal yang diatur Pasal 101 UU HKPD pada praktiknya dengan prosedur berbelit-belit sehingga dianggap tidak akan banyak membantu kepala daerah dalam mewujudkan pajak daerah yang berkeadilan.

“Karena itu, mohon kiranya MK dapat membatalkan dan menyatakannya tidak mengikat,” tutur Djohermansyah.

Keterangan Saksi

Selain itu, Pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 juga menghadirkan Saksi yaitu Wirawan Nurisa Saputra selaku Head Legal & Governance Relation Manager HW Group. Sementara, Kusuma Ida Anjani selaku Ketua III Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia (dahulu ASPI) sekaligus Direktur PT Mustika Ratu Tbk menjadi Saksi yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024.

Menurut Kusuma, aktivitas SPA yang menggunakan jamu dan boreh telah lama diakui sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sebagai prinsip utama dalam kesehatan tradisional Indonesia. Hal ini adalah bentuk pelayanan kesehatan yang mengutamakan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan secara menyeluruh, bukan sekadar untuk hiburan atau rekreasi.

“Oleh karena itu sangat tidak tepat untuk mengkategorikan aktivitas SPA yang menggunakan jamu dan boreh sebagai hiburan. Praktik ini bukanlah hiburan, melainkan upaya serius untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran melalui metode tradisional yang telah terbukti efektif dan diakui dunia,” jelas Kusuma.

Kusuma juga menambahkan, pihaknya merasa tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan naskah akademis regulasi mengenai pengenaan tarif PBJT atas jasa SPA. Padahal, kata Kusuma, ASPI terus berjuang mempertahankan eksistensi dan integritas industru SPA di Indonesia serta berperan aktif dalam menyusun dan merumuskan Undang-Undang tentang Kesehatan sejak UU 23/1992, 17/2023, maupun peraturan pelaksananya sperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1205 Tahun 2004.


Baca juga:

Pengusaha Minta Spa Tidak Masuk Kategori Jasa Kesenian dan Hiburan
Pengusaha Karaoke Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Sejumlah Pengusaha Persoalkan Pengkhususan Tarif Pajak Hiburan
Pemohon: Usaha Spa Berpotensi Bangkrut Akibat Tarif Pajak 40 Persen
Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Pengusaha Minta Pajak Hiburan Maksimal 10 Persen
Bukan Kebutuhan Dasar Jadi Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif Pajak Tinggi Bagi Tempat Hiburan Malam dan Spa
Ahli Sebut SPA Termasuk Pelayanan Kesehatan, Bukan Hiburan
Sidang  Uji Materiil UU HKPD Menyoal Tarif Khusus Pajak Hiburan Dijadwalkan Ulang
Ahli Sebut Pengenaan Tarif PBJT Seragam Atas Jasa Hiburan yang Berbeda Tidak Adil


Sebagai informasi, pasal yang diuji dalam UU HKPD adalah Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2). Pasal 55 ayat (1) huruf l berbunyi, “Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf e meliputi: l. Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.” Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”

Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dimohonkan sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa. Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah. Sedangkan, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen. Para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan tarif khusus PBJT paling rendah 40-75 persen.

Sementara, permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Kemudian, Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40 persen dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.

Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2). Sehingga, Pemohon berharap Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk diketahui, Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.”(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina