Mode Suara

Para Pemohon Prinsipal mengikuti sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rabu (24/07) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Rabu, 24 Juli 2024 | 07:30

Dibaca: 738

Ahli Sebut SPA Termasuk Pelayanan Kesehatan, Bukan Hiburan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dalam Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, 31/PUU-XXII/2024, dan 32/PUU-XXII/2024 secara sekaligus mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada Rabu (24/7/2024). Ketentuan yang dipersoalkan berkaitan dengan pengenaan tarif khusus Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan yang meliputi diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, di antaranya Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Yohanes Usfunan, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Haula Rosdiana, serta Ketua Bidang Pengembangan Skema Sertifikasi Usaha Pariwisata Perkumpulan Kegiatan Sertifikasi Usaha Pariwisata (PKSUPI) Mohammad Asyhadi. Ketiga ahli tersebut kompak menyebut spa masuk kategori pelayanan kesehatan, bukan termasuk usaha hiburan apalagi dikelompokkan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Menurut Yohanes, pengkategorian spa ke usaha hiburan dalam ketentuan di UU HKPD dimaksud bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 terkait hak untuk hidup yang sehat.

“Ada alasan bahwa pijat atau spa ini bagian daripada kemewahan, saya pikir tidak, ini bagian dari hak asasi manusia,” ujar Yohanes di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta Pusat.

Yohanes menjelaskan, usaha pelayanan kesehatan tradisional berbeda sekali konsepnya dengan usaha hiburan karena spa untuk melayani kesehatan atau kebugaran konsumen yang merasakan kecapaian atau keletihan badan dan kurang sehat. Kesalahan pengkategorian justru dapat menimbulkan masalah seperti menghambat masyarakat meningkatkan taraf hidup, hambatan dalam industri padat karya, menghambat penyerapan tenaga kerja, serta menghambat peningkatan ekonomi masyarakat.

Kemudian, Haula melanjutkan, spa seharusnya memang ditulis menggunakan huruf kapital karena spa merupakan singkatan dari Sehat Pakai Air atau Salus Per Aquam atau Sanitasi Per Aquam yang menjadi bagian dari pelayanan kesehatan. Dia mengatakan, rumusan dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menunjukkan spa diperlakukan sebagai alasan yang salah satu tujuannya adalah merefleksikan biaya eksternalitas negatif.

Hal ini bertentangan dengan UU Kesehatan yang justru menegaskan spa yang merupakan warisan budaya yang banyak memiliki kearifan lokal, sejatinya merupakan bagian dari perawatan kesehatan. “Secara akademis dilihat dari legal character dari pajak sebetulnya ini ada kontradiski ketika SPA dianggap sebagai hiburan itu menjadi sangat kontradiktif dengan Undang-Undang Kesehatan,” jelas Haula.

Perlu Diselaraskan

Selain itu, regulasi PBJT atas jasa spa kontradiktif dengan kebijakan PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis dan tidak memenuhi asas netralitas sehingga distortif untuk mendorong Program Indonesia Sehat untuk menyejahterakan masyarakat. Sebelum UU HKPD, spa menjadi objek pajak hiburan setara dengan panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran serta tarif maksimum pengenaan pajak 75 persen dan tidak ada batas bawah. Sedangkan setelah UU HKPD, spa menjadi objek PBJT jasa kesenian dan hiburan setara dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar, serta ada pengenaan tarif pajak batas bawah 40 persen.

Menurut Haula, kebijakan dan regulasi pajak daerah atas jasa spa perlu diselaraskan dengan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa pelayanan kesehatan. Kebijakan pemungutan perpajakan atas jasa pelayanan spa perlu dirumuskan dengan komprehensif holistik dan imparsial dengan mempertimbangkan multiplier effect baik secara ekonomi maupun sosial


Baca juga:

Pengusaha Minta Spa Tidak Masuk Kategori Jasa Kesenian dan Hiburan
Pengusaha Karaoke Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Sejumlah Pengusaha Persoalkan Pengkhususan Tarif Pajak Hiburan
Pemohon: Usaha Spa Berpotensi Bangkrut Akibat Tarif Pajak 40 Persen
Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Pengusaha Minta Pajak Hiburan Maksimal 10 Persen
Bukan Kebutuhan Dasar Jadi Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif Pajak Tinggi Bagi Tempat Hiburan Malam dan Spa


 

Untuk diketahui, Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah. Sedangkan, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen. Para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan tarif khusus PBJT paling rendah 40-75 persen.

Sementara, permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)”.

Kemudian, Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40 persen dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.

Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2). Sehingga, Pemohon berharap Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina